Ya, emak-emak normal memang selalu berkeluh-kesah, dan suami normal selalu "masuk telinga kiri keluar telinga kanan". Bisa jadi suami abnormal dia kalau semua keluh-kesah isterinya dipikirkan serius.
Begitulah. Sandiaga yang sebenarnya adalah "orang luar", tepatnya baloncawapres, yang sedang mencari fakta "kesulitan ekonomi rakyat", lupa pada status dan perannya sebagai "orang luar" dan malah terserap masuk ke "dunia emak-emak", lalu mengalami situasi "menjadi emak-emak" di situ.Â
Sandiaga menjadi lupa bahwa dia seharusnya tetap bersikap obyektif sebagai baloncawapres, karena sedang berusaha mendapatkan fakta "kesulitan ekonomi rakyat" untuk memfalsifikasi klaim pemerintahan Jokowi bahwa "ekonomi rakyat baik-baik saja".
Karena sudah terserap "menjadi emak-emak", maka ketika Sandiaga melaporkan fakta temuannya di kalangan emak-amak, dia tidak lagi berbicara sebagai baloncawapres yang menyuarakan keluhan emak-emak.
Tapi dia telah berbicara dalam kerangka "menjadi emak-emak" yang mengutarakan "keluh-kesah emak-emak" dalam "bahasa emak-emak".Â
Sandiaga tidak menyaring, mengolah, menganalisis, dan memformulasikan informasi yang diterimanya, tapi langsung mengungkapkannya mentah-mentah ke ruang khalayak.
Ini adalah symptom khas orang yang sedang terkena masalah going native. Dari orang yang terkena masalah going native, kita tak akan pernah mendengar kesimpolan obyektif, apalagi abstraksi yang bersifat makro, semisal penyimpulan untuk tingkat nasional.Â
Dia hanya sibuk dengan pernyataan-pernyataan subyektif mikro, yang hanya berlaku untuk lingkup atau satuan-satuan sosial yang sempitÂ
Semisal, sekumpulan emak-emak di Pekanbaru, atau sekumpulan emak-emak di Duren Sawit.Â
Dan pernyataan-pernyataan seperti itu sangat lemah validitasnya, sehingga menjadi "konyol" ketika diangkat menjadi "pernyataan nasional".
Dalam hal itu, Sandiaga melakukan kesalahan "penarikan kesimpulan umum ("Rp 100 ribu hanya bisa beli bawang dan cabai" dan "tempe setipis kartu ATM') berdasar fakta individual".Â