Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Sosok Artikel Utama

Ketika Sandiaga Terserap "Menjadi Emak-emak"

13 September 2018   09:06 Diperbarui: 15 September 2018   12:53 3423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto: Regional Kompas)

Dua kisah viral dari Sandiaga Uno, bakal calon cawapres untuk Pilpres 2019, baru-baru ini.

Pertama, kisah tentang Bu Lia dari Pekanbaru, Riau yang "dimarahi suami gara-gara uang belanja Rp 100 ribu hanya beli bawang dan cabai".

Kedua, kisah tentang Bu Yuli dari Duren Sawit, Jakarta yang mengeluh "tempe sekarang  setipis kartu ATM".

Pesannya jelas, harga-harga sembako sekarang naik, karena nilai rupiah terhadap dollar AS terpuruk dan sebagian sembako diimpor, termasuk bawang, cabai, dan kedelai sebagai bahan baku tempe.

Sayangnya, ketimbang membahas isu tersebut, khalayak lebih suka-ria memperolok ujaran "Rp 100 ribu bawang dan cabai" dan "tempe setipis kartu ATM" tadi. 

Pesan bagus dari Sandiaga menjadi tak tersampaikan dengan baik. Yang terjadi justru dia diterpa perundungan di dunia medsos.

Sisi bagusnya, kalau manut falsafah "untung"-nya orang Jawa, Sandiaga menjadi lebih terkenal luas seantero nusantara. Tingkat "keterkenalan"-nya naik drastis dan itu bagus sebagai modal untuk Pilpres 2019 nanti.

Tapi sebagus-bagusnya keterkenalan karena ujaran yang dinilai "konyol", tetap lebih bagus keterkenalan karena ujaran yang dinilai "cerdas". 

Contoh ujaran cerdas adalah respon Erickh Tohir terhadap perundungan dirinya sebagai "stuntman cawapres", "Stuntman kan bagus. Nggak ada stuntman, nggak ada film action". Nah, jawaban khas "millenial citizen", bikin pendengarnya tambah sayang.

Apa sejatinya yang salah dengan ujaran atau dua kisah Sandiaga? Bukankah dia telah "jujur" mengungkapkan apa yang disebutnya sebagai "suara emak-emak", atau kerennya, "aspirasi warga"?

Ya, mungkin memang jujur, tapi tampaknya ada satu masalah di situ, yaitu masalah "going native". Ini masalah khas yang bisa menimpa "orang luar" yang masuk ke dalam suatu komunitas untuk mendapatkan pemahaman tentang persoalan-persoalan komunitas itu.

Disebut going native apabila "orang luar" itu karena keterlibatan yang terlalu jauh dan mendalam (disebut over-rapport) malah mengidentifikasi dirinya sebagai "orang dalam" atau "salah seorang dari warga komunitas", dan lupa status dan perannya sebagai "orang luar" yang mengamati, atau sedang menggali informasi.

Akibatnya, ketika "orang luar" yang telah going native menjadi "orang dalam" itu berbicara kepada khalayak, maka dia berbicara secara subyektif sebagai "orang dalam" dengan emosi dan bahasa "orang dalam" juga.

Padahal, sebagai "orang luar", seharusnya dia bicara obyektif (sebagai hasil inter-subyektivitas), mengungkap fakta dengan bahasa yang "logis", bukan yang "hiperbolis".

Kebalikan going native adalah entnosentrisme, menilai sesuatu menurut acuan nilai, sudut pandang, dan pengalaman sendiri atau kelompok (primordial) sendiri.

Ini terjadi karena masalah under-rapport, sangat kurang terlibat pada persoalan yang diamati atau dikomentarinya.

Misalnya, ketika Jokowi memilih Maruf Amin sebagai cawapres, sejumlah orang (oposan) langsung bilang, "Ulama mana ngerti ekonomi".

Ini etnosentris, karena menurut sudut pandangnya ulama itu ya ngurusin soal surgawi.

Nah, agaknya masalah going native akibat over-rapport tadilah yang menimpa Sandiaga.

Jika disimak pemberitaan di ragam media, juga foto-fotonya, maka ada indikasi Sandiaga terjerumus ke dalam masalah going native di kalangan emak-emak.

Sandiaga terindikasi sangat menikmati berada di dalam kerubutan emak-emak yang menceritakan keluh-kesahnya sekaligus riuh minta selfie dan wefie. 

Ada lelaki milenial ganteng masuk ke tengah kumpulan emak-emak, sudah pasti itu semacam "rezeki" yang pantang untuk ditolak. Menjadi kesempatan bagi emak-emak untuk menumpahkah keluh-kesahnya yang mungkin gak pernah dipedulikan suaminya.

Ya, emak-emak normal memang selalu berkeluh-kesah, dan suami normal selalu "masuk telinga kiri keluar telinga kanan". Bisa jadi suami abnormal dia kalau semua keluh-kesah isterinya dipikirkan serius.

Begitulah. Sandiaga yang sebenarnya adalah "orang luar", tepatnya baloncawapres, yang sedang mencari fakta "kesulitan ekonomi rakyat", lupa pada status dan perannya sebagai "orang luar" dan malah terserap masuk ke "dunia emak-emak", lalu mengalami situasi "menjadi emak-emak" di situ. 

Sandiaga menjadi lupa bahwa dia seharusnya tetap bersikap obyektif sebagai baloncawapres, karena sedang berusaha mendapatkan fakta "kesulitan ekonomi rakyat" untuk memfalsifikasi klaim pemerintahan Jokowi bahwa "ekonomi rakyat baik-baik saja".

Karena sudah terserap "menjadi emak-emak", maka ketika Sandiaga melaporkan fakta temuannya di kalangan emak-amak, dia tidak lagi berbicara sebagai baloncawapres yang menyuarakan keluhan emak-emak.

Tapi dia telah berbicara dalam kerangka "menjadi emak-emak" yang mengutarakan "keluh-kesah emak-emak" dalam "bahasa emak-emak". 

Sandiaga tidak menyaring, mengolah, menganalisis, dan memformulasikan informasi yang diterimanya, tapi langsung mengungkapkannya mentah-mentah ke ruang khalayak.

Ini adalah symptom khas orang yang sedang terkena masalah going native. Dari orang yang terkena masalah going native, kita tak akan pernah mendengar kesimpolan obyektif, apalagi abstraksi yang bersifat makro, semisal penyimpulan untuk tingkat nasional. 

Dia hanya sibuk dengan pernyataan-pernyataan subyektif mikro, yang hanya berlaku untuk lingkup atau satuan-satuan sosial yang sempit 

Semisal, sekumpulan emak-emak di Pekanbaru, atau sekumpulan emak-emak di Duren Sawit. 

Dan pernyataan-pernyataan seperti itu sangat lemah validitasnya, sehingga menjadi "konyol" ketika diangkat menjadi "pernyataan nasional".

Dalam hal itu, Sandiaga melakukan kesalahan "penarikan kesimpulan umum ("Rp 100 ribu hanya bisa beli bawang dan cabai" dan "tempe setipis kartu ATM') berdasar fakta individual". 

Ketika khalayak kemudian mengolok-olok pernyataan Sandiaga, maka dia membela diri dengan berdalih bahwa dirinya hanya menyampaikan apa yang dikisahkan oleh "Ibu Lia" dan "Ibu Yuli". Sandiaga malah blunder karena melakukan dua kesalahan di situ.

Pertama, melanggar etika pengumpulan fakta yaitu tabu membuka jati diri asli informan (kalau benar ada Ibu Lia dan Ibu Yuli, dan nama itu bukan pseudonim). Karena pencari fakta punya kewajiban moral untuk menjamin keamanan dan kenyamanan informan.

Setidaknya, informan Sandiaga tidak ditertawakan atau diejek oleh emak-emak lain yang tidak sependapat dengannya.

Kedua, Sandiaga sebagai pengamat dengan status baloncawapres tidak boleh berlindung di balik informan atas fakta yang disampaikannya ke ruang publik.

Begitu fakta temuannya disampaikan ke ruang publik, apapun rumusannya, maka dialah yang harus bertanggung jawab sepenuhnya atas ucapannya. Bukannya melempar tanggungjawab dengan mengatakan, "Itu kan cerita Ibu Lia" atau "Itu kan cerita Ibu Yuli". Itu namanya berlindung di balik "emak-emak".

Akhirnya, saya perlu sampaikan kepada Pak Sandiaga, sebaiknya hindarkan untuk terjerumus ke dalam masalah going native saat berkeliling dari satu ke lain komunitas untuk mencari fakta permasalahan soaial-ekonomi masyarakat.

Karena sifatnya subyektif dan individual, lagi emosional, pernyataan-pernyataan yang disampaikan dalam kondisi going native cenderung misleading saat diangkat menjadi "isu besar" atau "kesimpulan nasional". 

Sangat absurd jika sebagai cawapres nanti, Sandiaga kemudian akan menawarkan program-program pembangunan ekonomi nasional yang berangkat dari fakta yang mengandung masalah going native. Dan sangat berbahaya jika misalnya memenangi Pilpres 2019, lalu program itu benar-benar diimplementasikan.

Misalkan, program itu didasarkan pada kisah Ibu Lia dan Ibu Yuli, maka program itu sejatinya hanya relevan untuk kedua orang "emak-emak" itu saja.

Demikianlah pikiran saya, Felix Tani, petani mardijker, belajar dari tukang sayur sukses mengindari going native di tengah kerumunan emak-emak.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun