Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Sosiolog dan Penutur Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Riuh yang Diam, Suatu Sore di Pantai Pasir Putih Tonrangeng Parepare

26 Maret 2018   11:21 Diperbarui: 26 Maret 2018   11:31 1748
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belum lagi tubuh ini rebahan sejenak di pembaringan hotel di Parepare guna menawar penat selepas perjalanan panjang dari Toraja, anak bungsu kami sudah mengajak jalan-jalan sore ke pantai.

Harus diakui, sore itu 27 Desember 2017, udara Parepare, "Kotanya Habibie", memang cerah. Saat yang bagus, memang, untuk menikmati matahari terbenam di bibir pantai.

Ya, tapi ke pantai mana. Tanya ke Prof. Google, diberi alternatif Pantai Pasir Putih Tonrangeng dan Pantai Lumpue. Ya, sudah, tergoda dengan janji "pasir putih", pilih ke Tonrangeng saja.

Kata googlemap, perjalanan naik mobil  dari penginapan, dekat pelabuhan, ke Pantai Pasir Putih Tonrangeng hanya 8 menit. Jalanan berwarna hijau, tanda lancar jaya.

Jadilah kami, saya bersama isteri dan kedua anak kami, ditemani Pak Sahar yang ahli nyopir, sore itu berangkat ke tempat tujuan. Benar, jalanan lancar. Kecuali  bahwa googlemap tidak tahu menjelang tepi pantai ada ruas jalan ditutup untuk upacara kematian, sehingga harus tanya orang agar ketemu jalan alternatif.

Tak sulit ternyata menemukan Pantai Pasir Putih Tonrangeng. Beberapa saat kemudian, beberapa orang tukang parkir partikelir telah memandu mobil kami ke kavling parkiran mereka. Oke, manut saja, namanya juga orang cari rejeki halal.

Berjalan ke bibir pantai, mata saya langsung mencari hamparan pasir putih yang dijanjikan. Nah, benar, itu dia, memang pasir putih, tapi tak seluas yang saya bayangkan. Sebab rujukan saya adalah pantai-pantai yang jembar seperti Parangtritis Bantul, Baron Gunungkidul, Gua Cina Malang, Pameungpeuk Garut, dan Air Manis  Padang.

Ya, sudahlah, tak soal. Yang penting Pasir Putih Tonrangeng ini sudah memenuhi definisi sebuah pantai. Ada hamparan pasir melandai di tepi pantai, ada nyiur melambai ke laut, ada laut biru menghampar ke batas cakrawala, ada gelombang menghempas ke bibir pantai, ada perahu layar terombang-ambing di tengah laut, ada anak-anak yang berlompatan geli dijilat lidah ombak, dan ada mentari hampir terbenam di ufuk barat sana.

Nah, sejatinya untuk yang terakhir inilah kami datang ke Pasir Putih Tonrangeng. Menyaksikan saat-saat indahnya mentari terbenam seolah tertelan laut di ufuk barat Parepare.

Indah? Ada sebersit rasa gumun sebenarnya.  Dulu, di paruh kedua  1970-an, saya terbiasa berdiri di bibir Pantai Parparean Porsea, sambil memandangi matahari beranjak perlahan ke peraduannya di sisi barat Danau Toba. Aneh, dulu saya tak melihat peristiwa itu  sebagai sesuatu yang  indah.

Lantas, mengapa kini di penghujung 2017 atau sekitar 40 tahun kemudian, di ceruk barat kaki Sulawesi, saya menemukan diri duduk manis menunggu mentari terbenam sebagai sesuatu yang indah? Saya curiga, gambar mentari terbenam di kalender-kalender dan "sunset scene" di pilem-pilem drama romantislah yang telah mengubah pandangan saya tentang  mentari terbenam.

"Lihat, Pak. Mataharinya hampir terbenam...," seru anak bungsu kami. "Hmmm...," gumamku, sambil uncang-uncang kaki di lincak bambu tempat kami duduk, yang disediakan pengelola di bibir pantai. Lincak itu sudah rada keropos sehingga kami berempat perlu sedikit ekstra hati-hati mendudukinya. Salah-salah pantat bisa kejeblos dan itu tidak lucu sama sekali.

Pengunjung pantai tiba-tiba menjadi sangat riuh. Semua berceloteh, termasuk kami berempat. Bahkan ada yang berteriak-teriak, terutama keluarga-keluarga yang duduk makan di anjungan kayu di garis pantai. Sembari sibuk selfie dan wefie dengan latar mentari nyaris terbenam. Semua tampak ceria menyambut meredupnya cahaya mentari. Aneh, mengapa orang gembira menyambut gelap malam?

Mendadak saya tersadar, ada banyak "kami" di Pantai Pasir Putih Tonrangeng sore itu. Dan setiap "kami" sibuk berceloteh dan berteriak pada dirinya sendiri. Tidak berbicara pada "kami" yang lain di kiri, kanan, depan, dan belakangnya. Ada "kami-kami" yang riuh pada dirinya, tapi saling diam satu sama lain, tanpa komunikasi.  Itulah riuh yang diam, yang menghasilkan ruang senyap antara "kami" yang satu dan "kami" yang lainnya.

Ruang senyap itu suatu keniscayaan. Sebab  "kami-kami" itu satu sama lain sudah saling tahu tujuan masing-masing datang ke Pantai Pasir Putih Tonrangeng sore itu:  menikmati keindahan mentari terbenam di ufuk barat. Jadi, untuk apa lagi harus  dibicarakan. Biarkan hadir senyap antara "kita" dan "kita", sehingga masing-masing "kita" dapat menikmati keindahan mentari terbenam itu dalam senyap.

Saya pikir,  wisata bolehlah kini diredefinisi. Bagaimana kalau ia kita definisikan ulang sebagai penikmatan nilai kendahan sebuah obyek sosial atau alami secara riuh-senyap?  Memang, ini definisi subyektif dari saya. Tapi bolehlah diuji dengan mengenakannya pada pengalaman wisata masing-masing.

Saya menatap ke barat, ke arah mentari sore, dengan hati cemas. Selarik awan hitam dari tadi saya perhatikan bergerak perlahan ke selatan menombak lurus ke lingkaran matahari merah.

"Dalam sekejap," bathinku cemas, "tombak awan hitam raksasa itu akan menghunjam habis matahari lalu ...  lenyaplah  harapan menikmati saat terindah mentari terbenam ...saat busur bawah mentari menyentuh kaki langit di barat sana."

Saya pernah dengar bahwa sebuah kecemasan bisa menjadi sebuah doa juga. Saya tidak percaya itu, tapi nyatanya itulah yang terjadi sore itu di Tonrangeng. Tombak awan hitam raksasa itu benar-benar menghunjam habis bulatan mentari sore, menyisakan pendar lembayung seakan percikan darah matahari di ufuk barat.  Saat terindah mentari terbenam hilang ditelan awan senja di kaki langit barat Parepare.

"Yaah ...! Ketutup awan...," terdengar seru keluh dari "kami-kami" yang menunggu saat terindah penuh harap di tepi pantai. Maka saya tahu, tanpa komunikasi antara "kami" dengan "kami-kami" yang lain, cukup dengan diam, senyap, bahwa bukan hanya saya yang tadi cemas dan kini kecewa.

"Ayo kita pulang," ajak isteriku, dan perlahan kami melangkah menuju parkiran meninggalkan remang senja di bibir pantai Pasir Putih Tonrangeng.

Tak urung sebuah tanya berkecamuk dalam benakku. Mengapa alam harus mengirim selarik awan hitam untuk menyembunyikan keindahannya dari tatapan ratusan pasang mata manusia yang penuh harap sore itu?

Sekilas saya membalik badan menatap bibir pantai dan mataku tertumbuk pada tumpukan sampah yang mengotori hamparan pasir di sana. "Mungkin itulah jawabannya," bathinku berkeluh-kesah. "Kami terlalu egois. Kami berharap menikmati keindahan alam. Tapi kami sendiri memberi dan membiarkan sampah  merusak keindahan alam itu."  

Jadi, bukankah adil jika sekali-sekali alam juga bersikap egois pada manusia?Terimakasih pantai Pasir Putih Tonrangeng, untuk sebuah pelajaran di suatu sore.***

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun