Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Pak Mendikbud, Ada Sosialisasi Nilai Keserakahan dan Kemalasan di Sekolah Negeri

16 Juni 2016   11:13 Diperbarui: 16 Juni 2016   15:56 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: merdeka.com

Pak Mendikbud, Anies Baswedan, anak saya baru saja menerima berita lulus Ujian Nasional (UN) tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP). Dia bersekolah di sebuah SMP Negeri.

Sebagai orang tua murid, izinkan saya berterima kasih kepada Pak Mendikbud, khususnya karena anak saya lulus lewat moda Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) yang Anda gagas. Dengan demikian, integritas anak saya agak bisa dipertanggungjawabkan.

Mengapa saya bilang agak bisa? Karena berdasar cerita anak saya, UNBK itu ternyata tidak menjamin pelaksanaannya bersih dari contek-menyontek. Memang peredaran kunci jawaban bisa ditangkal, tapi tidak dengan pembiaran tindakan saling-contek antar siswa oleh guru pengawas. 

Jadi masalah integritas rendah memang bukan hanya terjadi pada siswa, tetapi juga pada jajaran guru atau birokrat sekolah itu sendiri. Saya tahu, Pak Mendikbud sedang berjibaku untuk mengatasi masalah itu, di bawah panji 'Revolusi Mental'.

Maka, terkait 'Revolusi Mental' itu, sebagai orang tua siswa, izinkan saya berbagi cerita kepada Pak Mendikbud, tentang sebuah gejala yang bersifat destruktif di sekolah negeri, yaitu gejala sosialisasi nilai-nilai keserakahan dan kemalasan.

Saya paham Pak Mendikbud, keserakahan dan kemalasan adalah dua sifat dasar manusia. Sosialisasi dalam lingkungan sosial kemudian menentukan apakah sifat dasar itu bergerak ke ujung 'positif' atau sebaliknya 'negatif'.

Positif jika keserakahan dimanifestasikan dalam bentuk kerja keras mengejar kekayaan materi, dan kemalasan dimanifestasikan dalam bentuk inovasi teknis yang menghemat waktu dan tenaga. Misalnya, seseorang menjadi pengusaha yang mengaplikasikan teknologi robotik.

Negatif jika keserakahan dimanifestasikan dalam bentuk upaya pengambilan kekayaan materi yang sebenarnya bukan haknya, dan kemalasan dimanifestasikan dalam bentuk langkah terabas merampas harta benda orang lain. Misalnya, seseorang menjadi koruptor.

Itu pendapat saya Pak Mendikbud. Mohon maaf, sekaligus mohon koreksi kalau saya keliru atau mungkin ngelantur

Tapi, bahwa ada gejala nilai keserakahan dan kemalasan kini disosialisasikan secara informal di sekolah negeri, itu bukan pendapat saya. Itu fakta empiris, berdasar pengalaman langsung anak saya, dan juga pengamatan saya selaku orang tua murid.

Saya ingin sampaikan kepada Pak Mendikbud, walau mungkin Anda sudah tahu, bahwa faktual dua nilai destruktif itu kini masih disosialisasikan di sekolah negeri, lewat sekurangnya dua gejala sosial yaitu 'nyontek' dan 'kolekan'.

Dua gejala itu, nyontek dan kolekan, jamak berlangsung di sekolah-sekolah negeri di Jakarta. Itu bukan gejala tertutup, tapi sangat terbuka. Murid, guru, dan orang tua semuanya tahu.

Nyontek jelas dijiwai nilai keserakahan dan kemalasan. Dengan nyontek, seorang siswa akan memperoleh nilai tinggi yang sebenarnya tak pantas baginya, bukan haknya. Dengan nyontek, seorang siswa tidak sedang mempertonton kebodohan, melainkan kemalasan belajar. Maka dia ambil jalan menerabas: nyontek.

Mengapa saya bilang nilai keserakahan dan kemalasan disosialisasikan lewat nyontek? Karena, sebagaimana terbukti dari pelaksanaan UN 2016 dan tahun-tahun sebelumnya, gejala nyontek itu tidak saja dibiarkan oleh guru, tapi untuk sebagian juga difasilitasi oleh guru. Bukankah itu berarti guru menyosialisasikan nilai-nilai keserakahan dan kemalasan, Pak Mendikbud?

Kolekan” (Ing. collecting) juga jelas-jelas dijiwai nilai keserakahan dan kemalasan. Dalam kolekan, murid senior yang masuk dalam kelompok (geng) eksis, semacam 'preman sekolah', mewajibkan murid junior untuk menyetorkan sejumlah uang tiap hari.

Uang yang terkumpul akan digunakan oleh murid senior tadi untuk membiayai kepentingannya sendiri, antara lain makan-makan, beli handphone, beli tablet/laptop, bahkan beli motor. 

Beli motor? Jangan heran. Dari pengalaman anak saya, saya tahu bahwa jumlah 'kolekan' (yang disetorkan) per anak berkisar Rp 2.000-5.000 per hari. Ambillah angka terendah, Rp 2,000,- per hari. Berarti seminggu sekolah, 5 hari, Rp 10.000,- Jika jumlah kelas junior seluruhnya 10 kelas dan per kelas ada 30 siswa, berarti seluruhnya ada 300 siswa. Jika semua memberi kolekan Rp 10.000,- per minggu, maka akan terkumpul total Rp 3.000.000,- Dalam sebulan akan terkumpul Rp 12.000.000,- atau Rp 18.000.000,- dalam 6 minggu. Bisa beli satu unit motor bukan?

Melihat fakta tersebut Pak Mendikbud, bukankah 'kolekan' itu sosialisasi nilai-nilai keserakahan dan kemalasan? Serakah mau dapat uang dalam jumlah besar tanpa perlu kerja? Cukup pakai 'otot' untuk ancam sana, ancam sini? Bukankah ini proses sosialisasi yang akan membentuk siswa menjadi pemeras, koruptor, atau perampok?

Jika Pak Mendikbud berpikir saya mengada-ada dengan cerita ini, silahkan Anda selidiki sendirilah di sekolah-sekolah negeri, misalnya di Jakarta. Pak Mendikbud lebih tahu cara menyelidikinya.

Mengingat adanya dua gejala destruktif itu, nyontek dan kolekan, saya jadi berpikir, kemana saja perginya nilai-nilai Pancasila yang diajarkan sejak Sekolah Dasar itu?

Bahkan, lebih jauh saya bertanya, sungguhkah sistem pendidikan nasional kita, sistem persekolahan kita, dan sistem belajar-mengajar kita kini bermuatan nilai-nilai Pancasila? Jika jawabannya 'ya', mengapa sosialisasi nilai-nilai keserakahan dan kemalasan yang jelas-jelas anti-Pancasila itu masih berlangsung secara telanjang di sekolah-sekolah negeri?

Saya tak berharap Anda menjawab pertanyaan itu untuk saya Pak Mendikbud. Cukuplah jika Pak Mendikbud sudi menjawabnya untuk kebaikan pendidikan anak-anak bangsa ini.

Mungkin nilai-nilai keserakahan dan kemalasan itu hanya akan mendarah-daging pada segelintir siswa, dan menjadi karakternya sampai kemudian mereka dewasa. Dari segi jumlah mungkin tidak signifikan. Tapi, sepuluh orang serakah dan malas cukuplah untuk menghancurkan negeri ini, kalau mereka berada pada posisi menteri atau bahkan presiden.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun