Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seperti Macet Jakarta, Hukuman Kebiri Itu Pilihan

14 Juni 2016   10:01 Diperbarui: 14 Juni 2016   13:06 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Apa alasan paling gak mutu untuk keterlambatan di Jakarta?  Macet!  Ya, benar, alasan macet.  Bener-benar gak mutu.

Bukan Jakarta namanya kalau gak macet.  (Wonosari mungkin itu). Maka, macet bukan alasan untuk telat lagi di Jakarta. 

“Sudah tahu Jakarta macet, bukannya berangkat lebih dini!”  Itu teguran yang lazim. Maksudnya  mengingatkan kebodohan dalam pemilihan waktu berangkat.

Intinya, terjebak kemacetan di Jakarta adalah pilihan.  Tepatnya pilihan waktu berangkat dan rute perjalanan.   Salah pilih waktu dan rute, ganjarannya macet. 

Contoh.   Poltak tinggal di Pondokcabe, Tangerang Selatan.   Dia punya jadwal rapat bisnis pukul 9.00 WIB, pada hari kerja,  di sebuah kantor di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan.

Pertanyaan pertama, pukul berapa dia harus berangkat dari rumah?  Kalau dia berangkat pukul 8.00 WIB, berarti dia sengaja memilih untuk terjebak kemacetan.  Lewat rute manapun dia, naik kendaraan pribadi, pasti terlambat tiba di Kuningan tersebab macet. 

Kalau mau tiba tepat waktu di Kuningan, paling aman bagi Poltak berangkat paling lambat pukul 6.00 pagi.

Pertanyaan kedua, rute perjalanan mana yang sebaiknya dia tempuh?  Ada banyak pilihan rute.  Tapi misalkan dia pilih rute yang melintasi Jalan Fatmawati, berarti dia sengaja memilih untuk macet di jalan.  Sebabnya, proyek konstruksi jalur MRT di sepanjang jalan itu hanya menyisakan masing-masing satu jalur kendaraan di dua arah jalan.   Pasti macet pada jam sibuk pagi dan sore hari.

Contoh lain.  Poltak selesai mengikuti acara minum kopi pagi pukul 8.00 di Jalan Warungjati, Jakarta Selatan.  Pukul 9.00 WIB dia punya janji bertemu rekan bisnis  di sebuah kantor di Jl. Thamrin.

Kalau Poltak memilih naik kendaraan pribadi ke Jl. Thamrin, berarti dia sengaja memilih terjebak macet, dan terlambat tiba di Jalan Thamrin.

Pilihan yang paling cerdas dan  tepat adalah naik bus Transjakarta koridor Ragunan-Dukuh Atas, lalu disambung naik bus Transjakarta Blok M-Kota ke arah kantor tujuan.

Karena terjebak macet di Jakarta adalah pilihan, maka marah-marah kepada Gubernur DKI saat terjebak macet adalah perilaku tak cerdas.  Lha, macet dipilih sendiri, kok ya Gubernur yang dimarahi.

Sama seperti macetnya Jakarta, hukuman kebiri bagi perudapaksa kambuhan adalah pilihan.

Sudah tahu kejahatan rudapaksa berulang-ulang, terutama terhadap korban-korban di bawah umur, sangat mungkin diganjar hukuman tambahan kebiri kimiawi, masih juga mengulang kejahatan yang sama.

Terhadap perudapaksa kambuhan semacam itu, apa yang bisa dikatakan, kecuali dia sengaja memilih melakukan perbuatan jahat yang dapat diganjar hukuman kebiri? 

Tak mungkin perudapaksa itu tak tahu soal resiko hukuman kebiri.  Sosialisasinya sudah gencar lewat media massa, media sosial, dan media getok-tular dari mulut ke mulut.

Juga, tak perlu ada pandangan yang mengatakan hukuman itu tak manusiawi.  Memang tak manusiawi.  Perudapaksa juga tahu itu tak manusiawi.   Tapi kalau dia melakukan kejahatan rudapaksa berulang kali, bukankah itu berarti dia sengaja memilih hukuman tak manusiawi baginya?

Soal kebiri tak manusiawi, saya teringat pengalaman masa kecil terlibat dalam pengebirian babi jantan.  Dari sisi pengalaman ini, bisa saya katakan, kebiri itu memang hewani.  Kakek dan nenek saya dulu terbiasa mengebiri secara fisik babi jantan peliharaan mereka, dengan teknik “operasi seadanya”.  Katanya, supaya babinya cepat gemuk, dan memang begitulah kenyataannya.  Setelah dikebiri, mungkin babi itu kehilangan gairah seksualnya, tapi gairah makannya meningkat sehingga cepat gemuk.

Tentu, bagi babi milik kakek-nenekku, kebiri bukan pilihan, bukan juga hukuman.  Itu nasib sial bagi babi itu.  Dipelihara kakek-nenekku untuk digemukkan dengan metode kastrasi alias kebiri. 

Kembali ke soal jebakan macet Jakarta dan hukuman kebiri, keduanya adalah pilihan yang jauh dari cerdas, untuk tidak mengatakan sangat bodoh. 

Maka jika seseorang terjebak macet di Jakarta, janganlah dia  marah-marah kepada Gubernur, sebab itu pilihannya sendiri.  Kalau toh harus marah, marahlah pada diri sendiri karena telah membuat pilihan tak cerdas.

Jika seseorang perudapaksa kambuhan kelak terkena hukuman tambahan kebiri, janganlah dia  marah-marah kepada Pemerintah, sebab itu pilihannya sendiri.  Kalau toh harus marah, marahlah pada diri sendiri karena telah membuat pilihan sangat bodoh dan biadab.

Seekor babi jantan dikebiri karena nasib sial, tapi seorang perudapaksa kambuhan dikebiri pasti karena pilihannya sendiri.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun