Mohon tunggu...
Felix Tani
Felix Tani Mohon Tunggu... Ilmuwan - Sosiolog dan Storyteller Kaldera Toba

Memahami peristiwa dan fenomena sosial dari sudut pandang Sosiologi. Berkisah tentang ekologi manusia Kaldera Toba.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Negara, Bandit dan Rudapaksa: Hipotesis Tragedi Bengkulu

20 Mei 2016   13:28 Diperbarui: 20 Mei 2016   13:42 311
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona



Manakala Negara alpa di suatu wilayah, maka Perbanditan akan meraja di situ, lalu rudapaksa terhadap wanita menjadi keniscayaan.

Ini bukan kesimpulan akhir, melainkan hipotesis, sebuah dugaan awal, dalam upaya  menjelaskan sebuah peristiwa atau gejala.

Hipotesis itu hendak saya gunakan sebagai panduan untuk mencari satu dari sekian penjelasan yang mungkin diajukan tentang peristiwa rudapaksa brutal baru-baru ini di Bengkulu. Saya sebut itu sebagai “Tragedi Bengkulu”.

Sebagaimana telah diberitakan secara luas, 14 orang lelaki merudapaksa dan membunuh  seorang anak perempuan (Yy, 14 th) di Kecamatan Padang Ulak Tanding (PUT), Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu.

Banyak pendapat diajukan untuk menjelaskan musabab kejadian itu.  Mulai dari faktor kemiskinan, miras tuak, patriarki, sampai mandegnya fungsi kontrol ragam institusi sosial seperti keluarga, komunitas,  pendidikan, dan  keagamaan.

Saya tak hendak membahas lagi berbagai pendapat itu.  Di sini, saya hanya ingin menyampaikan hipotesis di atas.   Tanpa tendensi pemutlakan.  Tetap membuka ruang uji, untuk kemudian menerima atau sebaliknya menolak hipotesis itu.

Pertanyaan Sederhana

Mengapa saya mengajukan hipotesis tadi?  Karena saya dihadapkan pada sejumlah pertanyaan sederhana yang tak terjawab, saat menelisik faktor-faktor penyebab rudapaksa dan pembunuhan yang telah disampaikan berbagai pihak.

Pertama, terkait faktor kemiskinan. Bengkulu memang masuk urutan ke-6 dalam daftar 10  propinsi termiskin tahun 2015, dengan jumlah penduduk miskin 17.16%.  Tiga propinsi termiskin adalah Papua (28.40%), Papua Barat (25.73%), dan NTT (22.58%).    Pertanyaan:   mengapa di tiga propinsi termiskin itu  tak ada kejadian serupa kasus Yy?

Lagi, pertanyaan:  apakah ada hubungan kausal yang bersifat langsung antara tingkat kemiskinan dan tingkat rudapaksa?

Kedua, terkait faktor miras/tuak.   Bengkulu bukan satu-satunya propinsi dengan konsumsi miras/tuak tinggi.   Sumatera Utara, NTT, Sulawesi Utara, Papua Barat, dan Papua juga dikenal dengan tingkat konsumsi miras/tuak tinggi.  Pertanyaan: mengapa di propinsi-propinsi itu tak ada kejadian serupa kasus Yy?

Juga pertanyaan ini:  apakah niat jahat, dalam hal ini niat rudapaksa, timbul akibat mabuk miras atau timbul sebelum mabuk, sehingga mabuk bukan penyebab melainkan pengkondisian?

Ketiga, terkait faktor patriarki.   Gejala patriarki di Bengkulu tak sekental di Sumatera Utara, NTT, Sulawesi Utara,  Maluku, Papua Barat dan Papua.  Pertanyaan:  mengapa di propinsi-propinsi itu tak terjadi peristiwa serupa kasus Yy?

Pertanyaan tambahan:  apakah di Sumatera Barat yang menganut matrilineal tidak terjadi tindak kejahatan rudapaksa?

Keempat, terkait fungsi kontrol sosial institusi keluarga, komunitas, pendidikan, dan keagamaan.  Pertanyaan:  apakah institusi keluarga, komunitas, pendidikan, dan keagamaan di Bengkulu mengalami disfungsi, sehingga tak mampu menangkal amoralitas yang mendasari rudapaksa?

Atau, pertanyaan semaksud:  apakah masyarakat Bengkulu, khususnya Rejang Lebong, sedang mengalami gejala gagal institusi?

Karena tak menemukan jawaban memuaskan, maka saya berusaha mencari  satu penjelasan alternatif untuk kasus Yy.  Saya menjajagi sebuah penjelasan sosiologis, yang menempatkan kasus Yy sebagai satu peristiwa dalam sebuah gejala sosial besar.  Atau semacam puncak “gunung es” permasalahan sosial di PUT, Rejang Lebong, Bengkulu.

Untuk itu, saya akan memilah hipotesis tadi ke dalam tiga sub-hipotesis berikut:  Negara alpa di PUT, Rejang Lebong; Perbanditan meraja di PUT, Rejang Lebong; dan Rudapaksa menjadi keniscayaan di PUT Rejang Lebong.

Negara Alpa

Saya mulai dengan sub-hipotesis pertama, “Negara alpa di PUT, Rejang Lebong.”

Negara diartikan di sini sebagai organisasi kekuasan legal-formal yang memiliki wewenang tertinggi untuk mengatur dan kewajiban utama untuk memakmurkan masyarakat yang dikuasainya (bdk.  J.H.A. Logemann, M. Weber, dan H.J. Laski).

Jika Negara hadir di suatu wilayah, maka di situ idealnya ada keteraturan dan kemakmuran. Jika Negara alpa (lalai, tak hadir), maka di wilayah itu tak ada keteraturan dan kemakmuran.

Pertanyaannya, apakah negara hadir atau alpa di PUT, Rejang Lebong, Bengkulu?   Jawabannya, sebagai sebuah hipotesis, Negara alpa alias tak hadir di sana.

Sejumlah indikasi kealpaan negara di PUT, Rejang Lebong dapat diajukan di sini.

Pertama,  Pemerintah Pusat (Menko PMK) sebagai representasi Negara baru tahu kasus Yy sekitar sebulan (3 Mei) setelah peristiwa rudapaksa dan pembunuhan itu terjadi (2 April). Itu artinya PUT, Rejang Lebong berada di luar radar pemerintah, sehingga tidak perduli apa yang terjadi di sana.

Kedua,  Rejang Lebong kabupaten termiskin di Bengkulu, dengan jumlah warga miskin 40% (2015).  Kecamatan PUT, tempat tinggal Yy, adalah yang termiskin di sana.   Artinya, PUT atau Rejang Lebong untuk waktu yang sangat lama luput dari upaya pemakmuran oleh pemerintah.

Baru setahun terakhir ada sentuhan pemakmuran di sana, berupa pembagian Kartu Program Keluarga Harapan, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.

Ketiga, PUT Rejang Lebong berada di jalur “rawan kejahatan” yang dikenal sebagai “Kawasan  Texas”, terentang antara Curup (Bengkulu) dan Lubuk Linggau (Sumsel).  Penamaan itu pastilah merujuk pada Texas, AS jaman “Wild West”, saat yang berlaku adalah hukum rimba, “yang terkuat yang bertahan”. 

 Di “Kawasan Texas” Bengkulu kejahatan-kejahatan ini menjadi hal “biasa”:  perampokan, penjarahan, judi, madat, penganiayaan, rudapaksa, pembunuhan.  Pelakunya “warga setempat”, korbannya “warga pelintas” (yang berkendara). 

Itu bukan gejala baru, sudah sejak 1980-an atau bahkan sebelumnya, menandakan kuasa Negara tak pernah efektif hadir di sana untuk menciptakan keteraturan.

Bandit Meraja

Dengan menyebut indikasi ketiga tadi, saya hendak masuk pada sub-hipotesis kedua, “Perbanditan meraja di PUT, Rejang Lebong.”

Jika Negara alpa di satu kawasan atau wilayah, maka perbanditan akan meraja di situ.  Tak sulit membuktikan kebenaran hipotesis ini di Bengkulu.  Fakta tentang “Kawasan Texas” di sana, termasuk PUT rejang Lebong di dalamnya, adalah bukti tak terbantahkan.

Di “Kawasan Texas”,  Negara tidak hadir.  Atau kalaupun hadir, maka hadir secara negatif, yaitu berupa pengaruh Kepala Desa setempat yang dapat menjadi “garansi keamanan melintas”.  Melaui pemuktian “kedekatan” dengan Kades setempat, misalnya melalui komunikasi per telepon, maka seseorang bisa lepas dari genggaman perampok yang menghadang.

Atau, Negara hadir secara reaktif, dan sporadis, dalam bentuk operasi keamanan.  Misalnya, ketika terjadi satu kasus “kejahatan besar” di Kawasan Texas, maka aparat kemanan melakukan ronda untuk jangka waktu tertentu.

Selebihnya, perbanditanlah yang meraja di sana.   Dengan perbanditan dimaksudkan di sini adalah tindak perampokan, pencurian, pembunuhan, dan bentuk-bentuk kejahatan lain yang tidak semata dipahami sebagai kejahatan biasa.  Tapi juga dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidak-adilan sosial (bdk. Eric Hobsbawm). 

Semula perbanditan dipahami sebagai bentuk “kejahatan” a’la Robin Hood.  “Jahat” bagi yang dirampok, tapi “baik” bagi warga yang mendapat pembagian hasil rampokan. 

Tapi belakangan istilah itu juga digunakan untuk membingkai bentuk-benrtuk kejahatan terorganisasi lain.  Misalnya  perompak (bajak laut), sindikat narkoba, kelompok “bajing luncat”, dan geng jalanan.

Gejala bandit meraja di “Kawasan Texas” bukanlah hasil proses satu atau dua tahun.  Perbanditan di situ adalah hasil proses sosialisasi selama puluhan tahun.  Sehingga perbanditan sudah menjadi semacam sub-kultur di sana.   Artinya, sudah “mendarah-daging” dalam budaya yang dianut setempat.

Ketika perbanditan sudah menjadi sub-kultur, maka perampokan, pencurian, pembegalan, pembunuhan, sampai rudapaksa tidak lagi dilihat sebagai kejahatan biasa.   Tapi sudah diresapi sebagai “cara hidup”, atau sekurang-kurangnya sebagai “cara produksi” (bdk.  K. Marx).

Maksudnya  “perampokan” (terhadap pelintas) adalah cara setempat untuk memperoleh nafkah.   Pembunuhan, dan rudapaksa (jika korbannya perempuan),  adalah tindakan yang mengikut.  Jika harus membunuh untuk mendapatkan rampokan, maka perampok akan membunuh. 

Jika perbanditan sudah menjadi cara hidup atau cara produksi, maka budaya setempat tak lagi punya sistem nilai sosial yang bersifat mengontrol atau menghukum terhadap tindakan perampokan, pencurian, pembunuhan, dan rudapaksa.  Sepanjang hal itu dilakukan terhadap orang dari luar komunitasnya, maka tidak akan dipersoalkan.

Bahkan para pelaku perbanditan itu akan dipandang sebagai “pahlawan” atau setidaknya “jagoan” oleh warga setempat.

Tapi pada titik tertentu, saat  “perbanditan memangsa anak sendiri”, maka timbullah persoalan.  Dan itulah yang terjadi dengan kasus rudapaksa berujung pembunuhan atas Yy, atau “Tragedi Bengkulu” itu.

Rudapaksa Niscaya

Dengan pengungkapan gejala “perbanditan memangsa anak sendiri”,  saya hendak masuk pada diskusi sub-hipotesis ketiga, “Rudapaksa menjadi keniscayaan di PUT Rejang Lebong”.

Sebelum bicara jauh, simaklah fakta berikut.  Menurut Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (BP3A) Provinsi Bengkulu, sepanjang tahun 2015 hingga sekarang, telah terjadi 513 kasus rudapaksa di Bengkulu.  Artinya, rata-rata dua kejadian rudapaksa per hari.  

Walau tak dirinci menurut kabupetan atau kecamatan, sudah pasti sebagian kasus rudapaksa itu terjadi di “Kawasan Texas”.  Pelakunya termasuk para “bandit-bandit” setempat.

Bagi para bandit, rudapaksa sebenarnya tak pernah menjadi tujuan utama.   Bandit itu merampok, dan membunuh jika kondisi memaksa, bukan merudapaksa.   Rudapaksa selamanya adalah bentuk kejahatan urutan pertama terhina bagi bandit.

Meski harus dipahami juga, rudapaksa adalah urutan pertama kejahatan paling keji.  Karena selain merampas kehormatan, kejahatan itu juga membunuh karakter korban terudapaksa.

Tapi dalam sub-kultur banditisme, yang memfasilitasi kejahatan-kejahatan “inti” seperti perampokan, pencurian, pembegalan, dan pembunuhan, bentuk-bentuk kejahatan “pinggiran” seperti perjudian, narkoba/miras, dan rudapaksa adalah keniscayaan yang mengikut.   Setelah melakukan kejahatan “inti”, maka kejahatan “pinggiran” mengikut.   Atau ketika jeda kejahatan “inti”, maka kejahatan “pinggiran” menjadi selingan.

Berbeda dari kejahatan “inti” yang ditujukan kepada “orang luar” yang melintas di Kawasan Texas, maka kejahatan “pinggiran” cenderung melibatkan “orang dalam” sebagai pelaku ataupun korban.   Perjudian dan mabuk narkoba/miras umumnya terjadi antar mereka sendiri.

Khusus rudapaksa, mungkin juga mengambil pelintas wilayah sebagai korban, tapi hal ini mestinya jarang terjadi karena sangat jarang ada perempuan berani melintas sendirian di Kawasan Texas.   Karena itu, peluang terbesar untuk menjadi korban ada pada perempuan-perempuan setempat, entah itu sedesa atau lain desa. 

Itu sebabnya dikatakan “perbanditan memangsa anak sendiri”.  Kasus Yy sejauh ini adalah yang paling tragis.  Tapi kalau benar dalam setahun terakhir ada 513 kasus rudapaksa di Bengkulu, maka bisa dibuat praduga bahwa sebagian dari kasus itu adalah gejala “perbanditan memangsa anak sendiri.”

Sekadar Saran

Jika hipotesis “Manakala Negara alpa di suatu wilayah, maka Perbanditan akan meraja di situ, lalu rudapaksa terhadap wanita menjadi keniscayaan” terbukti kebenarannya, maka solusi untuk mengatasi kejadian rudapaksa sebenarnya sangat “sederhana”.

Hanya dibutuhkan kehadiran Negara, dalam arti positif, di Kawasan Texas, khususnya PUT Rejang Lebong.   Kehadiran Negara secara positif tak lain adalah pembangunan, yaitu program-program peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat setempat.  Bukan semata pembangunan fisik, tetapi terutama pembangunan sosial.

Saya tak hendak mengajari Pemda Bengkulu, atau khususnya Pemda Rejang Lebong, untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan di sana.   Yang bisa saya sarankan, sebaiknya perencanaan pembangunan itu didasarkan pada suatu hasil studi yang bersifat holistik, dan dilakukan secara partisipatif.  Itu saja.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun