Kritik lain datang dari aspek konsistensi. Selama ini, perjuangan diplomatik Indonesia menempatkan kemerdekaan Palestina sebagai syarat utama dalam konstelasi Timur Tengah. Kini, dengan membuka opsi hubungan dengan Israel, meskipun dengan prasyarat, muncul kekhawatiran bahwa Indonesia sedang mengendurkan tekanan terhadap Israel dan berpotensi memberikan legitimasi pada kebijakan okupasi yang masih terus berlangsung.
Pertanyaan pentingnya adalah, apakah ini benar-benar pergeseran, atau hanya penyesuaian strategi?
Di satu sisi, pernyataan Prabowo bisa dibaca sebagai strategi baru untuk menjebak Israel dalam komitmen internasional yang sah. Dengan memberikan iming-iming pengakuan diplomatik, Indonesia mencoba memainkan kartu tawarnya dalam tatanan global. Ini merupakan pendekatan soft power yang lebih fleksibel daripada sekadar menolak.
Namun di sisi lain, pernyataan ini juga bisa dilihat sebagai sinyal awal bahwa Indonesia, seperti banyak negara lain, mulai merasa terdesak untuk menyesuaikan posisi diplomatiknya demi kepentingan politik, ekonomi, atau pengaruh global.
Pernyataan Prabowo menandai kemungkinan awal dari era baru diplomasi Indonesia dalam isu Palestina-Israel. Jika selama ini Indonesia berdiri kokoh di satu sisi, kini wacana yang dibuka menunjukkan fleksibilitas baru---meskipun belum tentu melemahkan komitmen terhadap kemerdekaan Palestina.
Tapi yang jelas, satu hal yang harus digarisbawahi. Bila benar Indonesia mulai membuka diri terhadap hubungan diplomatik dengan Israel, maka kejelasan sikap, transparansi, dan prinsip keadilan tetap harus menjadi landasan utama.  Supaya  pergeseran strategi politik luar negeri Indonesia tidak menjadi pengkhianatan terhadap sejarah panjang perjuangan diplomasi kita. Nah!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI