Beberapa media menyiarkan, tentang suasana hari ini, di mana Jakarta tidak hanya menjadi saksi lalu lintas padat dan hiruk pikuk ibu kota. Tepat pukul 09.50 WIB, Gedung Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polda Metro Jaya kedatangan tamu tak biasa: Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo. Dengan mengenakan batik cokelat khasnya dan wajah yang tetap tenang, Jokowi datang bukan untuk agenda seremonial kenegaraan, melainkan untuk mengajukan laporan resmi atas tuduhan serius—bahwa ijazahnya, konon, palsu.
Di era ketika kabar bohong dan opini liar berseliweran begitu cepat di media sosial, langkah Jokowi ini terasa seperti sebuah penegasan moral. Banyak dari kita mungkin mengernyit: mengapa seorang presiden harus repot-repot membuktikan keaslian ijazah? Bukankah selama ini ia telah memimpin dengan kerja nyata?
Namun justru di sinilah poin pentingnya. Tindakan Jokowi bukan sekadar langkah hukum atau pembelaan diri. Ini adalah simbol—tentang nilai sebuah proses, pentingnya pembuktian integritas, dan tentang posisi ijazah dalam masyarakat yang tengah gamang memaknai ulang arti pendidikan.
Antara Inspirasi dan Miskonsepsi
Beberapa tahun terakhir, kita disuguhi banyak kisah inspiratif tentang tokoh-tokoh yang sukses tanpa ijazah. Nama-nama seperti Steve Jobs, Elon Musk, hingga pendiri startup lokal kerap muncul sebagai bukti bahwa dunia kerja kini lebih menghargai portofolio ketimbang gelar. Narasi ini merasuk begitu dalam hingga muncul anggapan umum: “Ijazah tidak penting, yang penting skill.”
Memang betul, kecakapan hidup dan keterampilan praktis adalah kebutuhan riil hari ini. Dunia kerja semakin fleksibel dan tidak selalu bergantung pada jalur akademik konvensional. Namun persoalannya, narasi ini seringkali disederhanakan. Bahwa karena beberapa tokoh bisa sukses tanpa ijazah, maka semua orang bisa.
Padahal, mereka yang berhasil tanpa ijazah adalah pengecualian, bukan aturan umum. Bahkan banyak di antara mereka yang tetap menjalani proses belajar yang panjang, baik secara otodidak maupun melalui mentor. Artinya, yang ditinggalkan mungkin hanya sistem formalnya—bukan nilai dan etos belajarnya.
Ijazah: Kertas Biasa atau Simbol Kredibilitas?
Dalam sistem sosial, hukum, dan birokrasi kita, ijazah bukan sekadar lembaran kertas. Ia adalah dokumen hukum yang merekam perjalanan akademik seseorang, yang menunjukkan bahwa ia telah melalui proses seleksi, pembelajaran, dan evaluasi.
Maka ketika Jokowi merasa perlu melaporkan tudingan palsu terhadap ijazahnya, itu bukan sekadar soal pribadi. Ia sedang menunjukkan bahwa dalam dunia yang mulai abai pada fakta dan senang dengan sensasi, kebenaran harus tetap diperjuangkan secara sistematis. Ia sedang menegaskan bahwa pendidikan dan prosesnya adalah hal yang sakral dalam membangun kredibilitas publik.
Namun demikian, penting juga untuk tidak terjebak dalam formalisme semata. Pendidikan sejati bukan soal mengumpulkan sertifikat, tetapi menumbuhkan karakter, etika, dan kemauan untuk terus belajar. Ijazah adalah penanda perjalanan, tapi nilai sesungguhnya terletak pada bagaimana kita menjalani proses itu.
Hari ini, dunia berubah cepat. Banyak profesi baru bermunculan yang tak tercantum dalam buku pelajaran. Maka, pendidikan yang baik adalah yang mampu menyiapkan peserta didik bukan hanya untuk ujian sekolah, tapi untuk ujian hidup. Dalam konteks inilah, ijazah tetap penting—namun bukan satu-satunya yang penting.
Menjaga Marwah Pendidikan di Tengah Era Disinformasi
Langkah Jokowi ke Polda adalah tamparan halus bagi publik yang terlalu cepat menyimpulkan dan terlalu mudah menyebarkan informasi. Ia adalah pengingat bahwa integritas tidak bisa diremehkan, dan bahwa pendidikan masih menjadi pilar utama dalam membangun kepercayaan publik.
Di tengah gempuran narasi “anti-ijazah” yang seringkali prematur, kita justru harus lebih bijak dalam memaknai pendidikan. Bahwa ijazah bukan tujuan akhir, tetapi bagian dari proses panjang yang membentuk manusia seutuhnya. Menjadi pembelajar sepanjang hayat adalah prinsip yang seharusnya lebih dielu-elukan dibandingkan sekadar gelar semata.
Ijazah memang bukan segalanya. Tapi ia tetap penting—sebagai bukti legal, sebagai simbol kejujuran, dan sebagai pengingat bahwa setiap pencapaian harus melalui proses. Maka, sebelum kita ikut-ikutan meremehkan “kertas itu”, ada baiknya kita bertanya: apakah kita sudah menghargai proses di baliknya?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI