Mohon tunggu...
m syakwan
m syakwan Mohon Tunggu... penyuluh

membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beby Millioner

27 September 2025   00:25 Diperbarui: 27 September 2025   00:25 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awal  September, memasuki musim pancaroba, siang hari serasa lebih panas dari biasanya.   Terik matahari dan uap panas bumi sisa hujan tadi malam tak ubah berada dalam ruang oven raksasa.

            Sebelum pulang  Fitri singgah ke pasar, ia hendak melihat -- lihat.  Di tengadahkanya  kepala  membaca  papan nama toko.   Di dalam toko hanya terlihat beberapa orang pembeli, mumpung sepi, bisa tanya -- tanya dahulu. 

            Puasa baru jalan sepuluh hari, pasar belum ramai dengan pengunjung, apalagi toko yang di kunjungi Fitri ini termasuk toko yang menjual barang -- barang branded.

            Setelah menemukan barang yang diincarnya, Fitri memberanikan diri bertanya harga pada karyawan toko.  Ia tahu, uang yang ada dalam saku baju dinas hanya cukup untuk ongkos pulang. 

            "Diskon dua puluh persen, kebetulan hanya tinggal satu." terang karyawan itu.

            Fitri diam sejenak, mencari kata- kata yang tepat.   "Bagaimana kalau saya titip dahulu, jangan dijual pada orang lain. besok saya ambil..."

            "Wah... Kak, saya tidak bisa janji, tapi saya akan taruh di estelase depan, biasanya orang -- orang  hanya menawar yang di dalam..."

            Girang bukan kepalang, setidaknya masih ada harapan.  Dalam hati, keluarpun gaji honornya besok, belum tentu terbeli.  Gajiku tidaklah lebih besar dari harganya.

 

            Dalam  keremangan kamar tidurnya,  Fitri  berbaring  gelisah seriring pikiranya berputar.   Perdebatan dengan suaminya saat berbuka puasa tadi terbawa sampai kini. 

            Fitri sadar idenya meminta uang pada ayahnya  bukanlah cara yang tepat.  Dia tahu betul watak suaminya,  apalagi hanya untuk membeli sesuatu yang tidak mendesak. 

Pernah ia menawarkan untuk tinggal di rumah orang tuanya, lumayan, setidaknya tidak perlu keluar biaya belanja harian, ke kantorpun  bisa bawa mobil ayah.  

Walaupun satu kantor, tapi suaminya bertugas di lapangan, sedangkan ia di kantor.  Tentu, tidak setiap hari bisa diantar suami.  Suaminya  menolak dengan halus,  berbagai pertimbangan didalilnya.  

Saat ini, Meskipun tidak perlu bayar untuk tempat tinggal, tapi biaya untuk makan, beli susu, lisrik , tetaplah harus dikeluarkan.   Gaji honor mereka berdua pas -- pasan bahkan cenderung kurang apalagi jika ada pengeluaran mendadak.

Tiga tahun pernikahan  bukanlah masa yang bentar untuk saling mengenal, memahami karakter masing -- masing.  Orang tua Fitri memahami kondisi itu, setiap berkunjung baik ke rumah menantunya atau Fitri yang yang pulang, selalu menggantungkan macam  - macam di motor menyelipkan uang lembaran di satu jaket cucunya "Buat beli Susu..."

Itukah kasih sayang orang tua yang tak pernah terbatas

Malam kian sunyi, Fitri membayangkan jika masih di rumah, jika tidak menikah, punya anak, mungkin tidak sesulit ini.   Bukannya anak punya rezekinya sendiri..! Kenapa tak kunjung jua rejeki itu....?

Fitri tersentak, sentuhan tangan mungil menyadarkan pergulatan bathinnnya.  Dengan rasa menyesal  diciumnya pipi mungil itu.  Apapun akan Ibu lakukan untuk membahagiakanmu Nak.... Dialihkan pandangannya pada Khairil suaminya yang tertidur lelap dalam lelah.   Tak akan ada lagi perdebatan ini !

Hari mulai gelap, suara azan Magrib sudah pula terdengar.  Kharil memperlambat layu sepeda motornya, berhenti lalu membuka tutup botol air mineral yang tadi dibawa. Hanya seteguk, lalu kembali melanjutkan perjalanan, ia tidak ingin Fitri terlalu lama menunggu.  Selama bulan puasa, baru kali inilah ia pulang sebelum masuk waktu Magrib. 

Sesampainya di rumah, hari benar -- benar telah malam, tak terdengar celoteh abang yang biasa menyambut Khairil pulang.  Kaki kecil itu tidak terlihat berlari menyonsong.

"Mana abang?" tanya Kharil pada Fitri yang nonggol dari  kamar

"Abang sudah tidur."  

Abang adalah panggilan kesayangan untuk anak mereka yang hanya satu -- satunya.  "Keletihan, sepanjang sore tadi main bola dan lari -- larian." terang Fitri.

Khairil masuk ke kamar.  Tubuh munggil itu benar -- benar telah tertidur, pulas.

"Jadi dibeli... ?" tanya Khairil, mengamati bungkusan tergeletak di sisi Abang, nyaris didekap. "Sudah keluar honor...?" tanyanya lagi setelah tahu apa isi kemasan itu.

"Belum... "

"Pimjam Bapak ?"

"Tadi dapat THR dari bidang, kekurangannya pakai duit belanja bulan ini."  terangnya sambil menunduk berharap tidak terjadi suatu hal dengan keputusannya itu," Abang senang sekali, terlihat gagah."  sambung Fitri.

Pembericaraan itu terhenti, sejenak diam dengan pikiran masing -- masing.

"Sudah makan?" Khairil memecah kebekuan, teringat akan sesuatu.

"Belum, tadi hanya minum air putih, maaf ya Kak, Fitri lupa kalau beras kita habis sedangkan uangnya sudah Fitri pakai buat tambah beli hadiah ulang tahun Abang." Fitri tertunduk penuh sesal.

Mendengar itu, bagai disambar petir Khairil berdiri.  Tangan kirinya mendarat di kepala Fitri, bukan marah, melainkan di usapnya kepala orang yang sangat dikasihaninya.  Marah hanya  untuk dirinya sendiri yang belum bisa membahagiakan istri dan anaknya.

"Masaklah, petani yang aku bantu tadi kasih beras, seperti ada juga makanan, mungkin gulai ikan, sepertinya ia tahu kalau di rumah tidak masak." seloroh Khairil membalikkan suasana.

Malam kian larut, di luar hujan mulai turun, hujan di bulan  September.   Fitri perlahan duduk di tempat tidur, membuka bungkusan dan mengamati kotak yang ada di dalamnya.  Nak, inilah hadiah pertama dan bergensi yang mampu Ayah dan Ibumu beri.  Hadiah yang kami persembahkan dengan menahan lapar dan linang  air mata. 

Semua itu kami lakukan agar Abang kuat menapaki dunia ini nak.  

Laki --laki harus kuat Bang...

Nak...., apapun akan Ibu lakukan untukmu, bukan berarti membuatmu menjadi manja,  bukan, bukan Nak.  Ayah dan Ibumu mencoba membangun kepercaan dan kepedulianmu 

Dan kini,,,, Ayah dan Ibumu menua, tidak mampu lagi mengejar dan berlari bersamamu seperti waktu dahulu.  Tuk itu, ulurkanlah tanganmu, agar kami bisa melihatmu bahagia

Nak, buat kami, tataplah Abang kecil kami dahulu, yang takut akan petir, Abang yang mimik dot sambil pegang pita, Abang yang jarang nangis tapi kalau nangis suka lama....

Nak, buat kami, Abang adalah permata kecil yang tak akan pernah berubah dan terganti.  Napasmu membuat kami kuat dan bertahan.

 

            Di luar hujan kian  deras, hujan September, September yang selalu meluluh lantahkan ruang batin.  Rindu, atau entah apalagi. 

            Perlahan Fitri berdiri,  dirapikannya  kembali bungkusan dan kotak, lalu disimpannya ke dalam lemari.  

Dua puluh tahun telah berlalu, kini tempat tidur itu kosong, tidak ada lagi Abang kecil dan Khairil yang terlelap di situ.  Kosong, yang tinggal hanyalah hangat hembusan napas keduanya yang tlah menyatu dalam jiwa.  Dihelanya napas kuat -- kuat berharap sesak  itu pergi dan lepas.  Nak, tapakilah dunia ini, genggamlah dengan tekad dan teguhkanlah  hati, Aku Ibumu menahan rindu untuk itu.

( Selamat Ulang Tahun ya Nak,  Ayah dan Ibu adalah dua jiwa yang pisah, tapi percayalah... napas kami bersatu dalam do'a untuk kebahagianmu)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun