Malam kian larut, di luar hujan mulai turun, hujan di bulan  September.  Fitri perlahan duduk di tempat tidur, membuka bungkusan dan mengamati kotak yang ada di dalamnya.  Nak, inilah hadiah pertama dan bergensi yang mampu Ayah dan Ibumu beri.  Hadiah yang kami persembahkan dengan menahan lapar dan linang  air mata.Â
Semua itu kami lakukan agar Abang kuat menapaki dunia ini nak. Â
Laki --laki harus kuat Bang...
Nak...., apapun akan Ibu lakukan untukmu, bukan berarti membuatmu menjadi manja, Â bukan, bukan Nak. Â Ayah dan Ibumu mencoba membangun kepercaan dan kepedulianmuÂ
Dan kini,,,, Ayah dan Ibumu menua, tidak mampu lagi mengejar dan berlari bersamamu seperti waktu dahulu. Â Tuk itu, ulurkanlah tanganmu, agar kami bisa melihatmu bahagia
Nak, buat kami, tataplah Abang kecil kami dahulu, yang takut akan petir, Abang yang mimik dot sambil pegang pita, Abang yang jarang nangis tapi kalau nangis suka lama....
Nak, buat kami, Abang adalah permata kecil yang tak akan pernah berubah dan terganti. Â Napasmu membuat kami kuat dan bertahan.
Â
      Di luar hujan kian  deras, hujan September, September yang selalu meluluh lantahkan ruang batin.  Rindu, atau entah apalagi.Â
      Perlahan Fitri berdiri,  dirapikannya  kembali bungkusan dan kotak, lalu disimpannya ke dalam lemari. Â
Dua puluh tahun telah berlalu, kini tempat tidur itu kosong, tidak ada lagi Abang kecil dan Khairil yang terlelap di situ.  Kosong, yang tinggal hanyalah hangat hembusan napas keduanya yang tlah menyatu dalam jiwa.  Dihelanya napas kuat -- kuat berharap sesak  itu pergi dan lepas.  Nak, tapakilah dunia ini, genggamlah dengan tekad dan teguhkanlah  hati, Aku Ibumu menahan rindu untuk itu.