Siapa yang Berhak Jadi "Suara Rakyat"?
Pelajaran dari Kontroversi 17+8: Ketika Aktivisme Digital Bertemu Kenyataan Politik
Pada 4 September 2025, perwakilan Kolektif 17+8 Indonesia Berbenah menyerahkan dokumen "17+8 Tuntutan Rakyat" ke DPR. Dokumen yang dibagikan jutaan kali di media sosial itu adalah hasil rangkuman berbagai tuntutan rakyat yang dipicu dari kemarahan terhadap tunjangan DPR Rp50 juta per bulan, sepuluh kali upah minimum Jakarta namun tragisnya 10 orang meninggal dalam demonstrasi di beberapa daerah.
Dihadapkan tekanan rakyat, sebagian tuntutan pun dikabulkan. Pemerintah menghentikan kenaikan tunjangan DPR. Kemenangan nyata. Tapi cerita tidak berakhir di situ karna di platform X/Twitter muncul perdebatan sengit: "Siapa yang memberi mereka hak berbicara atas nama rakyat?"
Bermula dari usaha beberapa orang untuk merangkum tuntutan menjadi 17+8, menyampaikannya kepada beberapa anggota DPR dan ketika salah satunya didapuk menjadi cover majalah Tempo, justru memunculkan perdebatan sengit. Di platform X/Twitter, kritik pedas bermunculan: "Siapa yang memberi mereka hak berbicara atas nama rakyat?" "Kenapa tidak berunding dengan buruh dan mahasiswa dulu?" "Mereka cuma influencer cari panggung!". Andhyta F. Utami, salah satu inisiator yang paling vokal, menerima serangan terberat.
Ketika Popularitas Bertemu Politik
Di era digital, siapa yang berhak mewakili "suara rakyat" menjadi pertanyaan rumit. Jerome Polin punya 6 juta subscriber, Ferry Irwandi berpengalaman puluhan tahun di aktivisme, Andhyta F. Utami memiliki latar akademis dan organisasi. Tapi apakah itu cukup?
Kritik pedas bermunculan di x/Twitter: mereka dianggap kurang berunding dengan buruh dan mahasiswa, terlalu terburu-buru, bahkan dituduh cari panggung.
Dilema Kecepatan vs Konsensus
Dokumen 17+8 disusun dalam hitungan jam untuk merespons situasi darurat. Pilihan saat itu: bertindak cepat dengan informasi terbatas, atau menunggu konsensus sempurna sementara momentum hilang.
Dari kasus ini muncul tiga model berbeda:
- Model Darurat: Bertindak cepat saat krisis. Keuntungan: momentum terjaga, hasil konkret. Risiko: legitimasi dipertanyakan.
- Model Konsensus: Berunding panjang dulu. Keuntungan: legitimasi kuat. Risiko: momentum hilang.
- Model Hibrid: Tindakan darurat diikuti konsolidasi inklusif. Ini yang paling realistis, tapi 17+8 gagal bertransisi ke sini.