Ia merasa---akhirnya---warna itu menemuinya. Ia tak perlu lagi memaksakan diri jadi merah yang menyala atau kuning yang gemerlap. Ia bisa tetap menjadi biru-hijau yang tenang, yang damai, yang apa adanya.
Ketenangan yang Mengarahkan
Naya sadar perjalanan menemukan warna tidak pernah instan. Ia melewati masa kebingungan, percobaan, bahkan kehilangan. Tetapi ketenanganlah yang selalu menuntunnya. Ketenangan membuatnya tidak silau pada warna orang lain, dan tidak tergesa menilai dirinya.
Ia teringat kembali pada perempuan tua di tepi sungai. Mungkin dulu, perempuan itu pun butuh waktu lama hingga akhirnya yakin pada biru. Dan kini Naya mengerti: warna yang senada dengan jiwa bukanlah yang paling indah bagi mata orang lain, melainkan yang paling menenangkan bagi diri sendiri.
Beberapa tahun kemudian, Naya menulis catatan kecil di buku hariannya:
"Aku tidak lagi iri pada merah yang menyala, atau kuning yang memikat mata. Aku pun tidak lagi terjebak dalam abu-abu keraguan. Aku bersyukur pada biru-hijau yang menemuiku. Meski perjalanannya panjang, aku bahagia akhirnya aku serasi dengan warna yang benar-benar aku."
Dan sejak hari itu, setiap kali murid-muridnya bertanya warna apa yang paling indah, Naya selalu menjawab sambil tersenyum:
"Semua warna indah. Tapi ketenanganlah yang akan menuntunmu pada warna yang paling serasi untukmu."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI