Di dapur sederhana rumah itu, aroma tumisan bawang putih dan cabai menguar, memenuhi udara dengan rasa lapar yang menggelitik. Panci besar berisi gulai kakap mendidih pelan, mengeluarkan kuah kekuningan pekat dengan minyak merah mengapung di permukaannya. Di sebelahnya, wajan berisi udang goreng tersusun rapi, kulitnya memerah cantik seperti baru saja disapu cat.
"Ya Allah, Kak! Kenapa kakap merahnya malah nggak merah?!" suara Naya meledak sambil menatap panci itu penuh kecewa.
Kakaknya, Dina, sedang sibuk menaruh sendok ke mangkok. "Lah, memangnya kenapa? Namanya kakap merah, ya spesies ikannya disebut begitu. Warnanya bisa pudar kalau dimasak."
Naya melotot. "Tapi namanya kakap merah! Harusnya ya tetap merah! Masa udang yang bukan bernama udang merah malah jadi merah waktu dimasak? Gimana sih logikanya?"
Dina menoleh, lalu terkekeh. "Dek, ini dapur, bukan kelas logika. Udang itu memang kalau dimasak berubah warna karena ada astaxantin nya yg dilepasin udang saat dimasak. Kalau kakap merah, ya nama spesies dari ikan yang merah saat masih hidup. Setelah dimasak, warnanya tergantung kuahnya."
"Jadi intinya nama itu cuma label?!" Naya bersungut-sungut, meletakkan tangannya di pinggang. "Berarti kita bisa aja bohong dong. Misalnya aku kasih nama kamu Dina Bahagia, padahal aslinya kamu galak kayak singa."
Kakaknya nyaris tersedak tertawa. "Eh, enak aja! Jangan main-main sama nama orang. Nama itu doa, bukan sekadar label."
"Lah, sama aja kan. Nama 'kakap merah' ternyata nggak menjamin dia merah. Sama kayak nama 'manis' nggak menjamin orangnya nggak judes. Ironi hidup banget, Kak."
Mereka duduk di meja makan. Naya masih manyun, menatap gulai kakap dengan curiga, seolah ikan di dalamnya menipu dunia.
"Aku tuh cuma nggak terima," ujar Naya akhirnya, "bahwa sesuatu bisa disebut dengan nama tertentu tapi nggak menunjukkan kenyataan. Rasanya kayak ditipu."
Kakaknya menyuapkan nasi. "Dek, hidup ini memang penuh label. Ada orang kelihatan alim, bajunya putih-putih, rajin ceramah. Tapi bisa jadi hatinya kotor. Ada juga orang terlihat urakan, tapi hatinya lembut dan dermawan. Nama dan penampilan luar itu bukan jaminan isi dalam."
Naya mengangkat alis, tertarik. "Jadi, maksud Kakak, perutku ini sedang menyampaikan kuliah filsafat dari seekor ikan kakap?"
"Ya, bisa dibilang begitu," jawab Dina sambil tersenyum nakal. "Allah itu memang suka kasih kita pelajaran lewat hal-hal kecil. Bahkan lewat ikan yang kau perdebatkan warnanya."
Naya meletakkan sendoknya, lalu menatap serius. "Aku jadi mikir, Kak. Jangan-jangan kita juga sering begitu. Pengen dikenal dengan satu label, padahal dalamnya beda. Misalnya, aku pengen dikenal sebagai 'orang sabar'. Tapi kalau diganggu sedikit, aku meledak. Jadi kayak kakap merah yang nggak merah."
Dina tersenyum lebar. "Itulah makanya kita diajarkan untuk jujur sama diri sendiri. Rasulullah SAW bersabda, 'Sesungguhnya dalam jasad itu ada segumpal daging, jika ia baik, maka seluruh jasad baik; jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasad itu. Itulah hati.' Nama bisa menipu, tapi hati nggak bisa."
Naya mengangguk pelan. "Berarti tugas kita bukan sekadar mempertahankan label, tapi menjaga isi hati, ya?"
"Iya, Dek," jawab Dina sambil menepuk bahunya. "Kamu nggak perlu jadi 'kakap merah' yang mati-matian harus merah. Jadilah udang. Biarpun namanya bukan 'udang merah', tapi ketika diuji panas, ia menunjukkan jati diri yang asli. Merah, matang, siap disantap."
Naya meledak tertawa. "Jadi intinya aku harus jadi udang? Hahaha, kalau gitu nggak heran aku suka loncat-loncat kalau kepanasan."
Perdebatan itu akhirnya berubah jadi canda. Namun di balik tawa, ada sesuatu yang mereka sadari: betapa mudahnya manusia terjebak pada label. Mereka menilai orang dari nama, pekerjaan, pakaian, bahkan status sosial---tanpa pernah benar-benar mengenal hati yang tersembunyi.
"Kak," kata Naya sambil menopang dagu, "aku baru paham. Sering kali kita terlalu sibuk mempertahankan citra. Padahal citra bisa hilang, bisa berubah, kayak warna ikan. Tapi karakter sejati itu nggak bisa disembunyikan selamanya."
Dina mengangguk. "Betul. Dan Allah nggak pernah menilai dari label kita, tapi dari takwa kita. 'Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa'. Jadi jangan habiskan energi buat kelihatan 'merah', padahal aslinya pucat. Lebih baik jaga hati, biar apapun namanya, isinya tetap baik."
Setelah perut kenyang, Naya bersandar di kursi. "Jadi, Kak, boleh aku simpulkan?"
"Silakan, Dek Profesor," ejek Dina.
"Pertama, jangan terlalu percaya sama label. Kedua, yang lebih penting dari nama adalah isi. Ketiga, jadilah udang---karena dia menunjukkan jati diri ketika diuji panas."
Mereka tertawa bersama.
Namun di dalam hati Naya, ada cahaya kecil yang tumbuh. Siang itu ia belajar bahwa hidup seringkali penuh ironi: kakap merah yang tak merah, udang yang merah meski bukan udang merah. Tapi dari ironi itulah Allah menitipkan pelajaran bijak---bahwa manusia tak diukur dari namanya, tapi dari apa yang keluar dari hatinya ketika diuji.
Dan hari itu, di meja makan sederhana, kakap dan udang menjadi guru kehidupan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI