Kita terbiasa menyalahkan "brain rot"---kemunduran akal karena konten-konten singkat, viral, receh, dan dangkal. Tapi lebih jarang kita sadari bahwa yang lebih berbahaya bukan sekadar otak yang kehilangan daya pikir, tapi hati yang kehilangan daya rasa.
Kita terlalu sibuk scroll. Tak sadar bahwa yang ikut tergeser bukan hanya jempol kita---tapi juga kesadaran kita. Hari-hari kita dipenuhi notifikasi, bukan dzikir. Kita bangun dengan layar, tidur dengan layar, tapi jarang sekali menunduk dalam doa, sujud, atau sekadar menangisi dosa-dosa yang kita normalisasi.
Heart rot bukan sekadar istilah. Ini nyata. Ini tentang hati yang awalnya lembut, perlahan mengeras. Tentang getaran iman yang dulu mudah hadir saat mendengar ayat, kini menjadi datar. Tentang mata yang dulu mudah menangis saat merasa bersalah, kini justru tertawa saat melihat kebodohan dipertontonkan.
Hati kita busuk perlahan, bukan karena satu dosa besar, tapi karena kumpulan kecil kelalaian yang dianggap biasa:
Mengabaikan waktu shalat karena video 1 menit lagi
Menertawakan dosa dalam bentuk hiburan
Menunda taubat karena "masih muda"
Hingga suatu saat kita tidak lagi merasa bahwa ini salah. Itulah puncak dari heart rot: ketika dosa tidak lagi terasa berdosa.
Lalu, Apa Obatnya?
Tunduk.
Bukan hanya secara fisik, tapi hati. Kembali membasuh qalbu dengan istighfar, dzikir, tangis yang jujur, dan waktu yang diluangkan untuk Allah, bukan hanya untuk algoritma.
Kita tidak perlu sempurna. Tapi kita perlu sadar.
Karena yang paling menakutkan bukan kehilangan follower, tapi kehilangan fitrah.
Dan yang paling menyedihkan bukan kehilangan sinyal, tapi kehilangan arah.