Pengendalian hama dapat dilakukan dengan memanfaatkan potensi sumber daya hayati (Insektisida nabati). Insektisida nabati memiliki kelebihan di antaranya relatif mudah terurai di alam, relatif aman terhadap organisme bukan sasaran, dapat dipadukan dengan komponen PHT lainnya, tidak cepat menimbulkan resistensi hama bila digunakan dalam bentuk ekstrak kasar, komponen-komponen ekstrak dapat bersifat sinergis, dan beberapa insektisida nabati dapat disiapkan secara sederhana dengan menggunakan peralatan yang dimiliki petani (Dadang dan Prijono 2008).
Tanaman yang dapat dimanfaaatkan untuk dijadikan insectisida nabati antara lain buah sirih hutan Piper aduncum (Piperaceae) dan daun kacang babi Tephrosia vogelii (Fabaceae). Dua jenis tumbuhan ini sudah diketahui memiliki aktivitas insektisida Hagemann et al. (1972).Â
Tanaman Kipahit (Tithonia diversifolia) pada bagian daun diketahui mengandung senyawa alkaloid, tanin, flavonoid, terpenoid dan saponin. Daun Kipahit dapat dijadikan pestisida nabati karena memiliki efek mortalitas pada dosis 25% pada percobaan dengan hama larva Plutella Xylostella (Rifah dan Djukri 2018). Di samping itu, kipahit dilaporkan mempunyai sifat anti makan (antifeedant) pada serangga sehingga menghambat perkembangan dan memutus siklus hidup serangga tersebut (Rahayu 2007 dan Ambrosio et al. 2008:2052)
Selain itu cabe jawa (Piper retrofractum) juga dilaporkan memiliki aktivitas insectisida (Saryanah 2008). Â Selain itu pengendalian dengan memanfaatkan agens hayati dapat diaplikasikan Lecanilicilium lecanii, Beauveria bassiana ataupun NPV (Nucleopolyhedrovirus) terhadap serangga larva lepidoptera.
 Untuk pengendalian Penyakit beberapa metabolit ataupun ekstrak tanaman dapat digunakan untuk pengendalian penyakit cendawan dan bakteri. Salah satu bahan alam yang mempunyai potensi sebagai senyawa antimikroba atau fungisida nabati adalah getah pepaya. Getah pepaya memiliki hasilan metabolit sekunder yang mengandung enzim kitinase (Azarkan et al. 1997) untuk mendegradasi kitin cendawan patogen tanaman.Â
Spesies tanaman Picung (Pangium edule) telah dilaporkan memiliki aktivitas antimikroba dan cendawan melalui ekstrak kasar metanol atau ekstrak air daunnya (Suhardi 2009). Picung telah menunjukkan aktifitas antifungi terhadap berbagai patogen cendawan maupun aktifitas penghambatan bakteri (Johnny et al. Â 2010)
Sebagai suplemen dapat ditambahkan penganekaragaman hayati tanah menggunakan pupuk hayati PGPR (Plant Growth Promoting Rhizobacteria). PGPR merupakan kelompok bakteri yang dapat dimanfaatkan sebagai pupuk hayati untuk membantu tanaman dalam suplai hara dan memperkuat  terhadap serangan hama maupun penyakit tanaman (Soesanto 2008).  Adanya kompleks rhizobakteria tanah dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit.
Menata pertanian secara berkelanjutan
Dalam hal kekayaan jenis tumbuhan, Â hewan dan mikrobia, Indonesia merupakan salah satu pusat kekayaannya. Sebanyak 28.000 jenis tumbuhan, 350.000 jenis binatang dan 10.000 mikrobia diperkirakan hidup secara alami di Indonesia (Mc Neely et al., 1990). Oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekarangaman hayati terbesar di dunia (megadiversity) dan merupakan pusat keanekaragaman hayati dunia (megacenter of biodiversity) (Mac Kinnon, 1992).
Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang sangat melimpah serta keragaman biodiversitas yang tinggi. Segala potensi sumber daya  Alam yang kaya ini dapat dikerahkan untuk membangun basis ekologi pertanian berkelanjutan yang berkualitas, berkuantitas tinggi, serta ramah lingkungan. Pemahaman tentang hasil dari pemanfaatan keanekaragaman hayati masih belum merata di masyarakat. Masih begitu banyak potensi alam Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Hal ini sejalan dengan visi dan misi pertanian Indonesia pada tahun 2030. Menurut Yayasan Indonesia Forum (2007), Visi Indonesia tahun 2030 adalah "Menjadi negara maju yang unggul dalam pengelolaan kekayaan alam". Dalam hal ini sektor pertanian menjadi salah satu sektor penting dalam pencapaian Visi Indonesia 2030. Mengacu pada visi Indonesia tahun 2030 pengelolaan pertanian sumberdaya alam secara berkelanjutan menjadi basis inti untuk pertanian masa depan. Hal ini dicirikan dengan kondisi lingkungan yang terjaga fungsi-fungsi ekologisnya (Santoso et al. 2014). Maka penting adanya untuk membangun ekologi berkelanjutan untuk menggantikan pertanaman dengan kompleksitas keanekaragaman rendah menuju pertanian masa depan.