Mohon tunggu...
Mohammad Rasyid Ridha
Mohammad Rasyid Ridha Mohon Tunggu... Buruh - Bukan siapa-siapa namun ingin berbuat apa-apa

Pekerja di NKRI Pengamat Sosial, pecinta kebenaran...Masih berusaha menjadi orang baik....tak kenal menyerah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Rekam Jejak dan CAPIM KPK, Perlukah?

6 September 2019   08:03 Diperbarui: 6 September 2019   08:37 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa menjadi alat penilai? Jawabnya adalah karena pada dasarnya manusia sulit untuk berubah, sehingga rekam jejak yang dipunyainya merupakan gambaran umum dari sifat dan perilakunya yang "dianggap" konsisten dan tidak mudah berubah. 

Bukankah dalam interview pekerjaan kita akan sangat mengeksplore rekam jejak masa lalu si calon pekerja, baik dari sisi keluarga, kepribadian, pengalaman kerja dan banyak hal lainnya.

Sama seperti orang yang punya rekam jejak berhutang dan mengemplang hutangnya. Apakah dari kondisi ini kita akan berpikir bahwa mungkin dia telah berubah dan lantas kita beri pinjaman? Saya yakin kita akan berpikir 1000 kali untuk memberinya pinjaman mengingat ada potensi yang sangat besar uang itu tidak akan dikembalikan. 

Rekam jejak orang tersebut sebagai pengemplang hutang tidak serta merta hilang dari pikiran kita. Butuh usaha yang sangat keras bagi dia untuk membuktikan dan menunjukkan pada orang lain bahwasannya dia telah berubah.

Oleh karenanya kalau saat ini muncul suara-suara agar presiden Jokowi mencoret usulan nama-nama Capim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap bermasalah maka hal itu harus dimaknai sebagai sesuatu yang sangat baik. 

Lha wong kita sendiri cenderung tidak percaya dan tidak mau memberikan pinjaman pada teman kita sendiri yang mempunyai rekam jejak tidak baik, apalagi ini soal calon pimpinan KPK yang notabene merupakan garda terdepan pemeberantasan korupsi di negara tercinta.

Kita tahu yang diperangi bangsa ini adalah korupsi yang sudah akut dan melingkupi sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi pula salah satu faktor yang kemudian menjungkalkan kekuasaan orde baru. Oleh karenanya pada era reformasi dibentuklah KPK untuk membersihkan negara ini dari korupsi.

Tentu tugas KPK tidak mudah, mengingat para koruptor itu bukan orang sembarangan. Para koruptor adalah orang-orang yang punya kedudukan, kekuasaan, kekuatan, relasi luas, dan seringkali jaringan politik yang sangat kuat. Melawan orang-orang seperti ini tentu dibutuhkan pimpinan yang sangat berani, jujur, bersih dan pintar. 

Pimpinan KPK juga bukan orang yang mudah tergoda kekayaan, jabatan, uang, wanita dan material lainnya. Korupsi yang ditangani KPK jumlahnya triliyunan rupiah, andaikan para koruptor mau berbagi 1 persen saja dengan pimpinan KPK (kalau pimpinan KPK mau) asal kasusnya jangan diusut atau diteruskan, maka bayangkan berapa milyar yang dapat masuk ke kantong pribadi pimpinan KPK.

Oleh karenanya KPK membutuhkan manusia-manusia separuh dewa untuk menjalankan roda kegiatan KPK. Manusia-manusia seperti ini mungkin jumlahnya mencukupi, namun yang mau tampil ke permukaan sangat sedikit. 

Kondisi ini kemudian yang menyebabkan orang-orang yang "kurang kualifikasinya" memanfaatkan keadaan untuk mencoba naik ke tampuk pimpinan KPK. Kualifikasi mereka barangkali belum sampai 1/8 dewa, mungkin baru 1/1000 dewa, namun bisa menjadi kuda hitam ketika mengikuti seleksi Capim KPK.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun