Pasar hewan hidup seperti Jatinegara di Jakarta mewakili ancaman besar terhadap kesehatan global karena berpotensi menjadi tempat lahirnya pandemi berikutnya. Hewan liar dari berbagai spesies dikumpulkan dalam kondisi sempit dan tidak higienis, menciptakan laboratorium alami tempat virus dapat bermutasi, melompat antarspesies, dan menyebar ke manusia. Meskipun dunia telah mengalami dampak besar dari pandemi COVID-19, yang banyak ilmuwan yakini bermula dari pasar hewan di Wuhan, perdagangan satwa liar tetap berlangsung aktif, bahkan berkembang secara sembunyi-sembunyi setelah pelarangan resmi oleh beberapa negara.
Penelitian menunjukkan bahwa virus-virus seperti coronavirus banyak ditemukan pada hewan yang ditangkap, diselundupkan, dan diperdagangkan. Pangolin, misalnya, menjadi ikon perdagangan ilegal karena permintaan tinggi di pasar tradisional Asia, terutama di Tiongkok. Studi terhadap pangolin dan hewan liar lainnya menunjukkan bahwa semakin jauh mereka berada dalam rantai pasok, semakin tinggi tingkat infeksinya. Artinya, kondisi pasar dan penanganan manusia terhadap hewan tersebut berperan besar dalam meningkatkan risiko penyebaran virus.
Meskipun identifikasi virus di alam liar telah lama menjadi fokus utama, kini para ilmuwan menilai bahwa pendekatan ini kurang efektif jika tidak dibarengi dengan pemahaman menyeluruh terhadap interaksi manusia dan hewan di titik-titik kritis seperti pasar. Penelitian lintas disiplin, dari epidemiologi satwa, antropologi medis, hingga pemetaan rantai perdagangan, diperlukan untuk memahami bagaimana zoonosis (penyakit dari hewan ke manusia) terjadi dan bagaimana mencegahnya. Namun, riset ini menghadapi tantangan besar: biaya tinggi, risiko keselamatan, dan kurangnya dukungan politik maupun pendanaan jangka panjang.
Studi lapangan di Indonesia, Vietnam, dan Afrika menunjukkan pentingnya membangun kepercayaan dengan komunitas lokal dan pelaku perdagangan agar data yang dikumpulkan akurat dan dapat digunakan untuk intervensi yang efektif. Jika upaya pengawasan dan regulasi tidak mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi masyarakat, seperti yang terjadi saat pelarangan konsumsi daging hewan liar di Afrika Barat selama epidemi Ebola, maka kebijakan tersebut justru dapat memperburuk situasi dengan mendorong aktivitas ke bawah tanah.
Kemajuan teknologi, seperti penggunaan CRISPR dan studi metagenomik, menawarkan harapan baru dalam deteksi patogen secara cepat dan menyeluruh tanpa harus menangani virus hidup. Namun, teknologi saja tidak cukup. Tanpa komitmen global untuk mendukung riset-riset ini dan menerapkan kebijakan berbasis bukti ilmiah, dunia akan tetap rentan terhadap wabah baru yang dapat muncul kapan saja dari pasar hewan hidup yang terus berkembang.
sumber:
doi: https://doi.org/10.1038/d41586-025-01690-z
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI