Mohon tunggu...
M. Ridwan Umar
M. Ridwan Umar Mohon Tunggu... Dosen - Belajar Merenung

Warga Negara Biasa

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kebangkrutan Thomas Cook, Korban Berikut Disrupsi Digital

3 Oktober 2019   19:23 Diperbarui: 3 Oktober 2019   19:41 1132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jagad bisnis heboh. Perusahaan travel Inggeris, Thomas Cook, bangkrut. Tepatnya hari Minggu lalu.

Salah satu perusahaan travel tertua di dunia ini gulung tikar dengan meninggalkan lebih dari 150 ribu konsumen yang terluntang-lantung di berbagai negara, menunggu kepastian, kapan pulang dan bagaimana pembayaran hotel mereka dilakukan. Termasuk wisatawan mereka, di Bali. Menyedihkan.

Thomas Cook memiliki  22 ribu karyawan, bekerjasama dengan 100 penerbangan dunia, 200 pemilik hotel dan resor di 47 destinasi, dan 19 juta pelanggan. Pokoknya besar sekali. Sampai-sampai, saya pernah membaca berita dimana Menteri Pariwisata Indonesia, sangat menaruh pada Thomas Cook untuk mempromosikan Indonesia di Eropa.

Berita kebangkrutan ini tentu tidak mengejutkan terutama jika dikaitkan bagaimana hebatnya bisnis digital menghantam berbagai bisnis konvensional. Sebelumnya kita akrab dengan berita transportasi dan perhotelan offline dipaksa gulung tikar dengan kehadiran bisnis model Gojek, Grab, atau AirBnB.

Atau, perusahaan retail dan mall yang kehilangan konsumen "dikerjai" marketplace ala Alibaba, Lazada, Bukapalak, atau Tokopedia.

Thomas Cook kolaps, itu sesuatu banget. Kali ini mereka kena "kutukan era disrupsi", entah perusahaan apalagi lagi esok.

Sesungguhnya Thomas Cook bukanlah pemain baru di bidang travel. Mereka telah berumur 179 tahun. Bayangkan, sejak tahun 1840 lalu, mereka menguasai seluruh jaring bisnis travel dunia. Menguasai hotel, maskapai dan resort wisata dunia.

Mereka menggaungkan sebagai travel yang mampu menghubungkan semua lini teravel, dari mulai tiket, pesawat, hotel sampai destinasi terkenal. Mereka bukan bisnis kaleng-kaleng. Buktinya, mampu bertahan hampir 200 tahun!

Namun, siapa sangka. Thomas Cook tetap bangkrut juga. Memang, penyebab kebangkrutan didasarkan banyak faktor.

Ada pengamat mengatakan bahwa Thomas melakukan inefisiensi dalam bisnis. Misal, dengan membuat bisnis penerbangan sendiri. Kata mereka, pilihan membuat maskapai sangat berisiko karena mahal dan karakter bisnisnya "njelimet".

Seharusnya Thomas Cook fokus di bisnis travel saja. Model bisnis yang lama itu sudah menguntungkan, jangan coba-coba yang lain. Lihat saja berbagai maskapai yang bangkrut di dunia, termasuk di Indonesia.  

Sayangnya, manajemen Thomas Cook mungkin berpikir lain. Mereka tetap membuat maskapai sendiri bernama Thomas Cook juga. Memang, terlihat keren dan bergengsi sih. Pesawatnya pakai nama Thomas Cook. Dari sisi promosi dan marketing tentu berdampak.

Namun pilihan ini ternyata harus dibayar mahal. Maskapai mereka mengerus banyak modal. Ada satu hal yang sebenarnya tidak berhasil diantisipasi oleh Thomas Cook. Apa itu?

Jawabannnya, mereka tidak tidak berhasil mengantisipasi perubahan pola prilaku konsumen. Thomas Cook tetap menyangka menyangka bahwa jutaan konsumen mereka akan selalu loyal dengan model bisnis lama, yang mereka anggap sudah teruji yaitu bisnis offline dengan konter bertebaran di dunia.

Mungkin nih di benak mereka, Thomas Cook terlalu besar untuk kolaps. Atau jangan-jangan, mereka memandang sepele dengan para perusahaan startup yang bermunculan.

Sebenarnya, Thomas Cook juga menggunakan bantuan internet atau aplikasi untuk membantu konsumen merasakan jasa mereka secara online. Mereka bersinerji dengan perusahaan Expedia, untuk mengoperasikan bisnis secara online, pada tahun 2017. Namun, tindakan itu tentu terlambat.

Saya melihat, kolaborasi dengan Expedia sepertinya hanya sebagai pelengkap saja. Barangkali, supaya jangan dikatakan tidak gaul di dunia maya, atau kalah fitur dengan aplikasi lainnya.

Namun, yang jelas, Thomas Cook memang tidak mudah mudah berpindah dari bisnis offline ke online, secara cepat. Mereka sudah kadung sangat tergantung dengan toko offline yang dimiliki di berbagai negara. Bayangkan pula, mereka masih setia menggunakan layanan telepon fisik untuk konsumen. Sepertinya, ,mereka lupa bahwa konsumen ternyata membutuhkan experience baru dalam melakukan perjalanan.

Yes, perubahan experience atau pengalaman ini banyak tidak disadari peruhaaan besar atau bisnis konvensional. Karena asyik konsumen yang berlimpah, perusahaan abai bahwa konsumen sebenarnya sedang mencari suasana atau pengalaman baru. Hati-hati..

Pada kasus Thomas Cook, ternyata banyak konsumennya yang menyadari bahwa melakukan booking perjalanan secara individual dapat dilakukan tanpa jasa Thomas Cook. Mereka merasa bahwa pengalaman yang ditawarkan aplikasi digital dengan klik sana klik sini, memilih destinasi, pesawat dan hotel secara murah dapat dilakukan sendiri.

Lalu, buat apa lagi menggunakan perusahaan travel lagi. Sudah mahal, ribet pula.  Masuk akal bukan?

Nah, sekarang, bayangkan jika seluruh konsumen yang kita miliki berpikir yang sama.

Misal, mereka berpikir buat apa lagi menggunakan produk atau layanan kita, jika ternyata di luar sana ada produk dan layanan yang jauh berkualitas, murah, cepat dan memberikan nilai tambah lebih?

Bayangkan jika ada komsumen berpikir pula semisal, "buat apa menggunakan jasa dokter, guru, dosen, akuntan, pemuka agama, sekolah, universitas, secara offline jika ternyata di dunia online semua tersedia? So, bersiap-siaplah dengan segala perubahan.

Namun, jangan takut. Sesungguhnya BUKAN sinerji dengan dunia internet yang menjadi kunci, apalagi hanya mengandalkan aplikasi. Toh, Thomas Cook juga punya aplikasi, namun gagal.

Kuncinya terletak pada keharusan perubahan mindset. Yaitu, cara pandang untuk memberikan pelayanan kepada konsumen. Bukan hanya pelayanan prima, namun pelayanan yang berkualitas, cepat dan memberikan sensasi baru bagi konsumen.

Diperlukan SDM yang tercerahkan, mau belajar cepat, kreatif dan inovatif. Kalau pelayanan secara offline sudah dilakukan dengan baik maka akan mudah melakukannya di dunia online.

Sayangnya itu tidak terjadi dengan perusahaan sekelas Thomas Cook. Sepertinya SDM mereka masih saja sulit pindah dari offline ke online.  MIndsetnya belum belum berubah.

 Ok, akhir kata. Jangan sampai kejadian Thomas Cook menimpa perusahaan kita. Amin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun