Secara normatif, hukum menjalankan perannya melalui sistem sanksi yang dapat berupa pidana, perdata, atau administratif. Sanksi tersebut dirancang agar individu menyesuaikan tindakannya dengan aturan yang berlaku. Dalam hal ini, hukum bersifat koersif---artinya ia memiliki kekuatan paksa untuk memastikan kepatuhan. Contohnya dapat dilihat dalam hukum pidana, yang melarang tindakan tertentu dan memberikan hukuman bagi pelanggarnya sebagai bentuk kontrol terhadap perilaku menyimpang.
Namun, secara kritis, efektivitas hukum sebagai kontrol sosial tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, budaya, dan politik tempat hukum itu berlaku. Di banyak kasus, hukum sering kali mencerminkan kepentingan dominan dari kelompok penguasa (elit), sehingga kehilangan fungsinya sebagai pengendali sosial yang adil dan partisipatif. Hal ini diperparah jika penegakan hukum lemah, diskriminatif, atau bahkan koruptif, sehingga justru menciptakan ketidakpercayaan publik dan resistensi sosial. Dalam situasi ini, hukum bukan lagi alat kontrol sosial yang konstruktif, melainkan alat penindasan.
Kritik juga muncul ketika hukum tidak responsif terhadap nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Ketika norma hukum tidak mencerminkan norma sosial, maka potensi ketidaktaatan akan meningkat. Misalnya, hukum yang tidak mempertimbangkan adat atau nilai lokal kerap dianggap tidak relevan atau bahkan mengganggu harmoni sosial.
Di sisi lain, fungsi kontrol sosial hukum tidak berjalan sendiri. Ia bekerja bersama pranata sosial lain seperti agama, moral, adat, dan opini publik. Oleh karena itu, hukum harus bersinergi dengan norma-norma non-hukum agar perannya sebagai pengendali sosial tidak semata bersifat represif, tetapi juga preventif dan edukatif.
Dengan demikian, peran hukum sebagai social control sangat strategis, namun efektivitasnya sangat bergantung pada legitimasi sosial, keadilan substansial, serta konsistensi penegakan hukum itu sendiri. Tanpa keadilan dan kepercayaan publik, hukum akan kehilangan otoritas moralnya sebagai kontrol sosial.
CONTOH HUKUM DAN SOCIAL CONTROL DI MASYARAKAT
Salah satu contoh konkret hukum sebagai alat kontrol sosial adalah Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU No. 22 Tahun 2009). Aturan ini mengatur perilaku pengguna jalan, seperti keharusan menggunakan helm bagi pengendara sepeda motor, larangan melawan arus, dan batas kecepatan kendaraan. Melalui hukum ini, negara menetapkan standar perilaku berkendara yang aman demi menjaga ketertiban dan keselamatan publik. Sanksi berupa denda atau kurungan diberikan bagi pelanggar sebagai bentuk paksaan hukum agar masyarakat tertib.
Contoh lainnya adalah Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Hukum ini menjadi instrumen kontrol sosial terhadap perilaku masyarakat di dunia maya, seperti ujaran kebencian, hoaks, dan pencemaran nama baik. Di era digital, hukum ini merespons perubahan sosial dan perkembangan teknologi sebagai upaya mencegah penyimpangan baru yang tidak dijangkau hukum konvensional.
Namun efektivitas hukum sebagai kontrol sosial juga ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat. Jika masyarakat sadar dan patuh terhadap hukum, maka kontrol sosial berjalan secara preventif. Sebaliknya, jika hukum tidak dipatuhi, maka fungsi kontrol akan melemah dan menimbulkan ketidaktertiban.
REFLEKSI PERAN MAHASISWA DALAM MEMBERIKAN KONTROL SOSIAL DAN MEMERANKAN HUKUM SEBAGAI SOCIAL CONTROL
Mahasiswa sebagai bagian dari kelompok intelektual memiliki tanggung jawab moral untuk menjadi agen perubahan (agent of change) dan kontrol sosial (social control) dalam masyarakat. Dalam konteks hukum sebagai kontrol sosial, mahasiswa tidak hanya berperan sebagai objek hukum, tetapi juga sebagai subjek aktif yang mengawasi pelaksanaan hukum agar berjalan adil dan sesuai nilai-nilai keadilan sosial.