Mohon tunggu...
M Rafly Alsyehan
M Rafly Alsyehan Mohon Tunggu... Lainnya - .

.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dampak Omnibus Law pada Pekerja Wanita dari Teori Kritis Max Horkheimer

21 April 2021   16:15 Diperbarui: 21 April 2021   18:10 280
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Latar belakang 

Sebagai upaya untuk memajukan ekonomi Indonesia, pemerintah Indonesia membuat undang-undang yang bertujuan untuk menaikan arus investasi untuk mempercepat proses pembangunan.Undang-undang yang dirumuskan adalah Omnibus Law, salah satunya yang menuai kontroversi adalah UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Awalnya Omnibus Law dibuat karena ada tumpang tindih serta masalah-masalah sektoral yang menghambat jalan untuk investasi bagi para investor. Pada saat Omnibus Law ini dirancang dan tersebar ke seluruh media di Indonesia. Ternyata mendapatkan banyak penolakan dari pekerja terutama dari kaum buruh, karena terdapat pasal yang dinilai menjadi pasal karet, yaitu UU No. 11 tahun 2020.

Di beberapa point ternyata Undang-Undang ini dianggap merugikan para pekerja. Di sini fokus saya adalah kepada para pekerja wanita yang terdampak omnibus law ini. Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja menilai bahwa adanya UU tersebut secara tidak langsung telah melakukan penindasan terhadap kaum buruh perempuan, cenderung bersifat patriarki, dan melanggengkan kemiskinan terhadap buruh perempuan.

Keharusan pemerintah untuk menampilkan diri sebagai negara yang mengedepankan pemberdayaan terhadap kaum perempuan sangatlah mengandung kontradiksi mengingat wacana UU Cipta Krerja yang mengabaikan HAM. Sebelum UU Cipta Kerja ini ada, perempuan sudah berada dalam posisi yang rentan terhadap eksploitasi dan diskriminasi di tempat kerja. Hak khusus untuk para pekerja perempuan, yang sebelumnya tercantum dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan yang  contohnya, sudah menjamin dan memberi  hak atas rasa aman selama hamil saat ini sudah dilanggar dalam praktiknya.

Hilangnya rasa aman terhadap ruang kehidupan juga akan dirasakan dan hal ini sangat merugikan para pekerja wanita, karena mendapati beban ganda dalam hidupnya. Tidak hanya hilangnya mata pencaharian dan sumber daya ekonomi, tetapi juga rusaknya nilai-nilai sosial, kearifan sosial, pengetahuan dan aspek spiritualitas yang telah dilestarikan dan dilestarikan oleh perempuan. Selain itu, mengurangi partisipasi masyarakat baik dalam penyusunan rancangan undang-undang ini maupun penghapusan status wajib AMDAL akan berkontribusi pada peningkatan ketidaksetaraan gender dan meningkatkan marjinalisasi perempuan dan kelompok minoritas lainnya.Pekerja perempuan khususnya yang membutuhkan perlindungan terus mengalami hak-hak diskriminatif yang berujung pada pemiskinan struktural. 

Dalam hal ini, pemerintah sangat lamban dalam merespon kondisi tersebut (Karo Rizky, 2020). Jika UU Cipta Kerja ada namun sejatinya jauh dari semangat perlindungan hak asasi manusia, dan akan terus awet diskriminasinya terhadap minoritas dan kelompok rentan. kelompok ini semakin terpinggirkan dan tidak akan memiliki akses terhadap hak atas kehidupannya yang layak. Wanita masuk ke dalam situasi kerja yang tidak manusiawi karena waktu kerja dan tujuan kerja yang panjang dan dinilai merugikan perempuan. Faktor upah juga seringkali jauh dari standar hidup yang wajar, kontrak kerja yang tidak jelas atau bahkan tidak diakui sebagai seorang karyawan. Ketimpangan hubungan membuat perempuan lebih rentan terhadap kekerasan fisik dan kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan bentuk pelecehan seksual lainnya di tempat kerja (UUD No. 11 Tahun 2020).

Teori kritis Max Horkheimer

Salah satu yang mengantarkan Max Horkheimer kepada pemikiran Teori Kritis Mahzab Sekolah Frankfurt adalah salah satu peristiwa yang terjadi kepadanya saat ia berusia 21 tahun, ketika itu ia menjadi direktur muda di perusahaan ayahnya yang bernama Moriz Horkheimer. Ia merasa terbelenggu dalam pekerjaan itu dikarenakan ia iba melihat penderitaan seorang buruh perempuannya yang bernama Ny Katharina Kranmer, ia adalah buruh perempuan yang tidak dapat melanjutkan kerjanya lagi karena terkena penyakit. Kondisi yang dialami oleh buruh perempuannya inilah yang mendobrak pemikiran Horkheimer. Tidak itu saja, ia juga selalu menyaksikan penindasan dan ketidakadilan. Ia merasa hal ini menjadi paradoks, ketika orang-orang atas di dalam perusahaannya dapat menikmati keuntungan, akan tetapi buruh mereka tetap melarat dan kelaparan. Padahal keuntungan dan kenikmatan tersebut didapati dari hasil memeras tenaga buruh. Karena adanya hal tersebut, Horkheimer menginginkan masyarakat yang baru tanpa penindasan.

Dalam sistem masyarakat ekonomi kapitalistik, segala sesuatu, tenaga manusia dianggap sebagai onjek dan komoditi yang hanya mempunyai nilai tukar. Relasi produksi sarat dengan eksploitasi yang lebih menguntungkan pemilik modal. Relasi yang eksploitatif telah melahirkan ketimpangan dan ketidakadilan di tengah masyarakat. Teori kritis menolak segala bentuk relasi dan ketegorisasi yang diproduksi sistem ekonomi kapitalistik, di antaranya adalah kategori-kategori masyarakat yang didasari oleh nilai tukar, seperti kategori produktif, berguna, layak, bernilai dan sebagainya. Dalam pandangan teori sosial kritis, sistem relasi dan kategorisasi tersebut hanya berfungsi untuk menyembunyikan dan melestarikan praktek dominasi, penindasan, dan ketimpangan sosal-ekonomi (Umar Solahudin, 2020: 78).

Menurut Max Horkheimer masalah ini mampu terselesaikan apabila dapat membangun kesadaran kritis dari masyarakat baik kaum buruh maupun para kapitalis. Teori kritis tidak hanya mampu melahirkan wacana dan kesadaran kritis, tetapi juga mampu membangun kesadaran emansipatoris untuk tujuan perubahan sosial yang lebih baik. Sejatinya yang diingin dicapai oleh teori kritis antara lain adalah (a) merekonstruksi masyarakat berdasar atas hubungan non-eksploitatif antar pribadi; dan (b) merestorasi peran sentral manusia dalam evolusi masyarakat sebagai satu kesadaran yang mandiri, sebagai subjek dari realitas sosial yang mengatur dirinya sendiri (Aronowitz, dalam: Horkheimer, 1972: xiii-xiv).

Teori kritis ingin berusaha membongkar kedok yang ada di dalam narasi besar kapitalisme. Pada dasarnya Kapitalisme melahirkan kontradiksi-kontradiksi, frustasi-frustasi sosial, penindasan-penindasan tidak lagi nampak. Kesan "semuanya dalam kondisi baik-baik saja", semua kebutuhan terpuaskan, berjalan efisien, produktif, lancar, dan bermanfaat. Akan tetapi meski sama-sama mengarah kepada kapitalisme dan buruh, Horkheimer berbeda daripada Marx yang menginginkan jalur revolusi untuk mengubah sistem sosial ke arah yang lebih baik. Teori Kritis Horkheimer sangat menolak jalur revolusioner karena dianggap hal itu hanyalah utopis belaka saja. Mereka yakin bahwa setiap usaha manusia yang menggunakan kekerasan hanya akan menghasilkan perbudakan yang lebih mengerikan. Contohnya Uni Soviet; penggulingan rejim represif ternyata akan menghasilkan rejim yang lebih represif apabila memang power yang dimiliki rejim jatuhnya lebih kuat dibandingkan kelas buruh, yang puncaknya pada era Stalinisme (Sindhuna, 1993).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun