Mohon tunggu...
Seniya
Seniya Mohon Tunggu... Ilmuwan - .

Tulisan dariku ini mencoba mengabadikan, mungkin akan dilupakan atau untuk dikenang....

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Toleransi dalam Agama Buddha

6 Februari 2010   10:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:03 10511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat itu Buddha berkata: "Nigrodha, engkau mungkin berpikir: 'Petapa Gautama mengatakan hal ini untuk mendapatkan murid.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah ia yang menjadi gurumu tetap menjadi gurumu. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami meninggalkan peraturan-peraturan kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah peraturanmu tetap berlaku seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami meninggalkan gaya hidup kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah gaya hidupmu tetap seperti apa adanya. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin kami mengukuhkan kami dalam melakukan hal-hal yang menurut ajaran kami adalah salah, dan yang dianggap demikian oleh kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap salah tetap dianggap demikian. Atau engkau mungkin berpikir: 'Beliau ingin menarik kami dari hal-hal yang menurut ajaran kami adalah baik, dan yang dianggap demikian oleh kami.' Namun jangan engkau beranggapan demikian. Biarlah hal-hal yang kalian anggap baik tetap dianggap demikian. Nigrodha, Aku tidak berbicara karena alasan-alasan ini."

"Ada, Nigrodha, hal-hal tidak baik yang belum ditinggalkan, ternoda, mendukung kelahiran kembali, menakutkan, menghasilkan akibat menyakitkan di masa depan, berhubungan dengan kelahiran, kerusakan, dan kematian. Adalah untuk meninggalkan hal-hal ini, maka Aku mengajarkan Dhamma. Jika engkau mempraktikkan dengan benar, hal-hal ternoda ini akan ditinggalkan, dan hal-hal yang murni akan tumbuh dan berkembang dan engkau akan mencapai dan berdiam dalam kesempurnaan kebijaksanaan sepenuhnya, dalam kehidupan ini, dengan pandangan terang dan pencapaianmu sendiri." (Udumbarika-Sihanada Sutta)

Jadi, jelas bahwa Buddha mengajar bukan untuk mendapatkan pengikut atau pun mengubah keyakinan atau cara hidup seseorang, melainkan untuk menunjukkan jalan melenyapkan permasalahan kehidupan (dalam istilah Buddhis disebut penderitaan atau dukkha) tanpa seseorang harus terikat dengan menganut agama Buddha. Contohnya, ajaran Buddha tentang meditasi ketenangan batin dapat dijalankan oleh siapa saja, dari agama mana pun dan bangsa mana pun, tanpa perlu menjadi umat Buddha (telah terdapat banyak bukti bahwa meditasi bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang, terutama dalam hal kesehatan).

Hormati Guru Agamamu yang Sebelumnya

Pada abad ke 6 SM di India berkembang berbagai ajaran agama selain agama Hindu yang bersumber dari kitab Veda. Selain agama Buddha, terdapat juga agama Jainisme yang diajarkan oleh Jaina Mahavira (disebut juga Nigantha Nataputta dalam kitab-kitab Buddhis) yang hidup sezaman dengan Buddha Gautama. Walaupun agama Buddha sudah hampir punah di tanah kelahirannya, agama Jainisme masih mengakar kuat dan memiliki banyak pengikut di India saat ini.

Seorang pengikut awam Nigantha Nataputta yang terkemuka bernama Upali terkenal akan kepandaiannya dalam berdebat. Ia diutus oleh gurunya untuk mengalahkan Buddha dalam perdebatan tentang manakah yang menghasilkan akibat yang lebih besar perbuatan melalui pikiran, tubuh, atau ucapan. Buddha mengajarkan bahwa perbuatan melalui pikiranlah yang menghasilkan akibat yang lebih besar, sedangkan Nigantha mengajarkan bahwa perbuatan melalui tubuh yang menghasilkan akibat yang lebih besar. Pada akhir perdebatan tersebut, Upali mengakui kebenaran ajaran Buddha dan bermaksud untuk menjadi pengikut Beliau. Namun Sang Buddha berkata:


“Perumah tangga, pikirkanlah kembali sebelum kamu berbuat, orang-orang terkemuka seperti dirimu seharusnya berpikir secara hati-hati sebelum bertindak.”

Upali menjawab, “Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava tadi. Jika para pertapa lain mendapatkan murid seperti saya, mereka akan membawaku berkeliling kota Nalanda dengan mengatakan: ‘Upali sang perumah tangga telah menjadi pengikut kami.’ Namun di sini Sang Bhagava mengatakan: ‘Perumah tangga, pikirkan kembali sebelum kamu berbuat... dst.’ Sekarang saya menyatakan diri berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk kedua kalinya. Semoga saya diingat sebagai umat awam yang telah mengambil perlindungan sejak hari ini hingga kehidupanku berakhir.”

“Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha. Aku menganjurkan agar dana makanan tetap diberikan kepada para Nigantha yang datang.”

“Yang Mulia, saya sangat puas dan gembira dengan kata-kata Sang Bhagava ini: ‘Perumah tangga, telah lama sekali keluargamu menjadi penyokong utama bagi para Nigantha.... dst.’ Yang Mulia, saya telah mendengar tentang Anda: ‘Pemberian dana harus diberikan kepada-Ku saja, tidak kepada orang lain. Pemberian dana harus diberikan kepada para siswa-Ku saja, tidak kepada para siswa ajaran lain. Pemberian dana yang diberikan kepada para siswa-Ku akan memiliki buah yang besar, tetapi tidak pemberian kepada orang lain.’ Namun di sini Sang Bhagava menyarankan saya agar memberikan dana kepada para Nigantha. Kami mengetahui kapan waktunya untuk melakukan hal tersebut. Sekarang saya berlindung kepada Buddha, Dhamma, dan Sangha untuk ketiga kalinya....” (Upali Sutta)

Terlihat bahwa Buddha menganjurkan agar para pengikut-Nya yang berasal dari keyakinan lain setelah menjadi pengikut Beliau harus tetap menghormati para guru agamanya yang terdahulu dengan menerima mereka dengan baik jika datang ke rumah untuk meminta dana makanan (meminta dana makanan dengan mendatangi rumah ke rumah adalah kebiasaan para pertapa India sejak zaman dahulu dan saat ini masih dilakukan para bhikkhu Buddhis).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun