Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sentuhan, Rasa dan Kebohongan

18 Oktober 2025   15:55 Diperbarui: 18 Oktober 2025   15:55 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Eliza mengetik dengan jari gemetar. Bukan karena gugup---perasaan itu sudah lama tumpul---melainkan karena rasa lapar yang tak bisa diabaikan. Dapur flat kecilnya di pinggiran kota tua itu kosong. Panci terakhir hanya meninggalkan bekas aroma mi instan gosong dari malam sebelumnya, aroma yang kini terasa menusuk seperti jarum di rongga hidung. Di kamar sebelah, putrinya menangis lirih---suara seraknya seperti lonceng gereja tua yang retak, menggema perih tak terucap: hari ini uang sekolah belum juga dibayar.

Ia menekan tombol kirim.

> "500 ya, bantu 2x, terus cuci setrika 1x ya."

Udara musim gugur Eropa membuat tubuhnya menggigil, meskipun ia sudah memakai sweter usang. Langit-langit menghitam diselimuti jamur, menyebarkan aroma lembap dan apek, seolah dinding ikut menangis dalam diam. Kain di tubuhnya menempel erat, menyerap bau: deterjen murah, keringat, dan kenyataan pahit yang meresap hingga ke tulang.

> "Tolong dulu ya "

Tangis itu tak bersuara. Hanya terasa di dada, seperti sentuhan debu yang menusuk paru-paru. Ia menjual waktu, tenaga, dan janji---semuanya dibayar untuk memastikan anak itu tidak lagi menangis karena lapar.

***

Pukul enam sore. Di luar, hujan turun bagai tirai kelabu, membawa serta aroma aspal basah dan dingin yang khas. Joni duduk di kamar losmen murah dekat stasiun trem. Rokok terselip di bibir, dan suara televisi asing menyala tanpa ditonton. Di luar, hujan menenggelamkan suara hati nurani yang hanya hidup di dalam hati.

Ia menulis:

> "Kalau sudah jalan, kabari ya."

Tidak ada balasan. Ia kirim foto kunci kamar berkarat. Masih diam. Ia kirim pesan suara singkat. Tetap sunyi. Kesal mulai muncul, lalu berubah menjadi kecewa. Kekesalannya mengeras seperti kerak roti kering. Ia mencoba mengingat---katanya sudah dua belas kali gagal bertemu. Tapi yang sebenarnya ia hitung hanyalah bayangan, sentuhan yang tak bermakna, janji-janji yang menggantung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun