Di sebuah sekolah menengah yang selalu ramai oleh suara derap langkah dan teriakan antusias siswa, terdapat dua sahabat karib, Yani dan Husen. Yani, gadis ceria dengan mata berbinar dan tawa yang selalu mewarnai ruang kelas, dikenal oleh teman-temannya sebagai pribadi hangat. Sedangkan Husen, pemuda pendiam yang memiliki kepekaan tinggi, lebih senang menghabiskan waktu menggambar di sudut koridor sambil mencium aroma kayu dari pensil yang terus ia raut.
Kedekatan mereka makin terjalin ketika keduanya tergabung dalam ekskul yang sama---Jurnalistik Madrasah. Hampir setiap sore, mereka duduk berdampingan di ruang redaksi, merangkai kata-kata untuk buletin sekolah. Suara mesin ketik tua yang berderak, wangi kopi sachet dari ruang guru, dan tekstur kasar kertas cetak menjadi teman mereka setiap latihan. Intensitas pertemuan itulah yang perlahan menumbuhkan rasa berbeda di hati Husen.
Suatu pagi, langit tampak mendung, dan angin meniupkan bau tanah yang khas setelah hujan semalam. Di bawah rindangnya pohon flamboyan di taman sekolah, Husen memanggil Yani dengan suara yang sedikit bergetar. "Aku... ingin bicara sesuatu," ujarnya. Detak jantungnya berpacu cepat, seakan terdengar jelas di telinganya sendiri.
Dengan gugup, ia mengungkapkan perasaannya. Namun, Yani hanya menunduk, meremas tali tasnya, lalu menjawab pelan, "Maaf, Husen. Aku cuma menganggap kamu sebagai sahabat." Kata-kata itu menancap tajam, seperti angin dingin yang menusuk kulit. Husen berusaha tersenyum, meski ada rasa getir di tenggorokannya.
Kecewa dan bingung, Husen pulang dengan langkah lesu. Di kamarnya yang berbau cat poster dan kertas sketsa, ia membuka media sosial dan mengunggah foto Yani yang diam-diam ia ambil saat mereka belajar bersama di perpustakaan. Caption-nya penuh harapan, seolah ingin mengatakan kepada dunia bahwa Yani adalah segalanya.
Keesokan harinya, ruang kelas dipenuhi bisik-bisik. Suara gosip terdengar seperti serangga yang berdengung di telinga. Teman-teman mulai menggoda Yani, bahkan ada yang tertawa-tawa saat melihat layar ponselnya. Yani merasa panas dingin, tubuhnya seperti dibungkus selimut tak nyaman. Ia mendatangi Husen dan menatapnya tajam. "Kenapa kamu melakukan ini? Aku terganggu!" katanya dengan suara bergetar.
Husen, yang merasa terpojok, menjawab, "Aku cuma ingin semua orang tahu betapa istimewanya kamu." Tapi kalimat itu tak mampu menenangkan badai di hati Yani. Ia memilih menjauh, tidak ingin lagi terlibat dengan Husen.
Kabar itu sampai ke telinga orang tua Yani. Kemarahan mereka meledak, seperti air panas yang mendidih. Mereka menganggap tindakan Husen telah mencoreng nama baik anak mereka. Udara rumah Yani terasa sesak, penuh kecemasan dan keputusan mendadak. Ia pun dipindahkan ke sekolah lain. Aroma kertas buku barunya dan seragam yang belum pas di badan menambah rasa asing di tempat barunya.
Sementara itu, Husen dilanda penyesalan. Ia mencoba menghubungi Yani, tapi pesannya hanya centang satu. Ia hanya bisa duduk di tepi ranjang, meraba bekas layar ponselnya yang tak lagi menyala.
Pihak sekolah memanggil orang tua Husen. Dengan wajah lelah dan mata sembab, ibunya mengambil ponsel milik Husen dan menghancurkannya di depan matanya. "Kamu tidak bisa bertindak tanpa memikirkan akibatnya, Husen! Ini menyangkut perasaan orang lain juga!"
Husen hanya bisa merasakan tangannya yang kesemutan dan matanya yang panas, namun tak ada air mata yang keluar. Ia tahu semua ini adalah akibat dari kesalahan sendiri. Saat mobil keluarga bergerak menjauhi sekolah lamanya, aroma kabin yang biasa ia hirup setiap pagi kini terasa asing dan sunyi. Ia berjanji dalam hati, "Aku tak akan ulangi ini. Aku harus tumbuh jadi pribadi yang lebih bijak."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI