Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

MTsN 1 Bandar Lampung; Menyalakan Semangat Membaca

28 Juni 2025   14:05 Diperbarui: 28 Juni 2025   13:49 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kisah Literasi Kelas 8H Tahun 2025 di MTsN 1 Bandar Lampung, semester genap tahun pelajaran 2024/2025 menjadi saksi hangatnya geliat literasi kelas 8H. Di ruang kelas yang dilingkupi aroma kertas dan tinta buku yang khas, dentingan jarum jam di dinding seakan mengiringi deretan siswa yang antusias meminjam dan mengembalikan buku. Di antara mereka, ada semangat yang tidak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan seperti hembusan angin semangat yang menyapu ruang baca.

Setiap lembar yang dibuka, setiap kalimat yang dibaca, adalah perjalanan kecil yang disusun dengan ketekunan oleh para penggerak literasi---Bapak Desrizal, walikelas 8H yang dengan suara tenangnya selalu mengingatkan, "Buku itu seperti cermin, ia memantulkan siapa diri kita." Beliau dikenal tak hanya tegas, tapi juga hangat dalam memotivasi anak-anak agar menjadikan membaca sebagai kebiasaan, bukan kewajiban.

Di perpustakaan, Ibu Laksmi, sang pustakawan yang telah menjadi sahabat para pencinta buku, mengatur koleksi dengan lincah. Jemarinya yang cekatan menata buku sambil sesekali memberikan rekomendasi pada siswa. "Coba yang ini, puisinya bisa bikin kamu termenung," ujarnya sambil menyerahkan buku Mahir Berbahasa Indonesia. Bau kopi hangat dari meja kerjanya berpadu dengan aroma lembaran buku, menciptakan suasana yang menenangkan dan menggugah rasa ingin tahu.

Tak hanya Ibu Laksmi yang menghidupkan semangat baca. Kepala Madrasah, Bapak Hartawan, kerap mengunjungi ruang literasi. Langkah sepatunya bergema di lantai koridor setiap kali ia datang dengan senyum lebar. "Buku adalah jendela dunia, dan saya bangga 8H sudah membuka banyak jendela itu," ucapnya dalam sebuah apel pagi yang membekas di hati para siswa.

Sementara itu, Pak Rudi dan Pak Eko, staf madrasah yang biasa membantu mengatur logistik buku, tak jarang ikut tersenyum saat melihat siswa-siswi berkumpul, berdiskusi, bahkan sesekali berdebat seru dengan mata berbinar soal isi buku yang baru mereka baca.

Buku Fiqih jadi primadona. Di tangan Faiza, Zahro, Alya, dan Nasya, lembar demi lembar ditelusuri dengan penuh khidmat. Komentar-komentar mereka mencerminkan pemahaman yang bukan hanya kognitif, tapi juga spiritual. Tangan mereka meraba setiap halaman seakan sedang menyentuh hikmah yang tersembunyi.

Di sudut lain, Ayyatul Husna dan Kayla membaca IPA Terpadu, dengan mata yang menyipit karena fokus membaca bagian tentang struktur kulit manusia. "Rasanya seperti menjelajah tubuh sendiri," kata Kayla sambil menunjukkan gambar epidermis dan dermis kepada temannya. Visual buku itu memicu imajinasi seolah mereka bisa menyentuh tekstur kulit lewat halaman.

Kemudian ada Hakim Abdurrahman, yang saat membaca buku tentang narkoba, merasakan getaran emosi yang kuat. "Obat terlarang ini seperti racun yang bisa membunuh masa depan," tulisnya dengan tangan sedikit gemetar. Buku itu menjadi alarm moral, bukan sekadar teks.

Ibnu Rafif larut dalam kisah Keajaiban Laut, membayangkan suara ombak dan deru angin laut seperti sedang berada di pantai yang biru. Sementara M. Excell Rifsan Kamil membaca Liwa Pasca Gempa Bumi dan menuliskan: "Bacaan ini membuatku merasakan getaran, seolah tanah di bawahku benar-benar retak." Betapa kuatnya literasi menjembatani empati dan kesadaran bencana.

Di balik semua itu, ada dukungan dari tim madrasah---Pak Parindra, Pak Arija, dan Pak Sapar---yang kerap menyempatkan waktu untuk ikut membina kegiatan literasi. Pak Arija bahkan pernah membacakan cuplikan cerpen di perpustakaan dengan suara lantang dan nada dramatis yang menggetarkan hati pendengar, membuat siswa terdiam dengan telinga waspada menangkap setiap diksi.

Melalui sentuhan pancaindra---aroma buku, suara lantang pembina, sentuhan halaman, visual ilmu, dan rasa emosional---kelas 8H membuktikan bahwa literasi bukan sekadar aktivitas diam. Ia adalah pengalaman hidup yang kaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun