Mentari tepat di puncaknya ketika cahaya terang menembus tirai jendela kamarku, menyilaukan layar laptop yang sejak pagi belum kutinggalkan. Keringat mulai merembes di pelipis meski kipas angin terus berputar, mengeluarkan suara berderit pelan. Aroma kopi hitam yang tadi pagi kupikir akan menemaniku hingga siang, kini berubah dingin dan menyatu dengan bau kertas catatan yang berserakan di meja.
Notifikasi WhatsApp berbunyi nyaring, menghidupkan ruang kerja mungilku. Grup "AKMI" kembali ramai, seperti biasanya di masa-masa pelaporan. Jemariku langsung sigap menari di atas keyboard, mengimbangi deru pesan yang masuk. Di antara deretan chat, mataku menangkap satu pesan dari nomor belakang 6482. "Alhamdulillah SDH juga mengisi cuma lupa sy simpan ." Ah, itu pasti Bu Siti, pikirku. Gaya bahasanya khas sekali. Aku membalas cepat, "Tidak apa2, Ibu, saya bantu simpankan ."
Tapi belum sempat kukirim, layar laptopku freeze. Kursor membeku di tengah pesan. Aku menelan ludah. Klik... klik... klik. Tak ada respons. Jantungku berdegup lebih cepat, dan entah kenapa, telapak tanganku ikut terasa dingin. "Jangan sekarang, dong..." gumamku lirih. Aku langsung bangkit, kaki beradu dengan kursi yang bergerak seret di lantai. Modem ku-restart. Suara ibuku terdengar samar dari luar, "Yunaa, udah siang loh, makan dulu." Aku hanya menjawab, "Nanti, Bu!" dengan napas yang masih memburu.
Beberapa menit terasa seperti satu babak ujian nasional. Saat laptop kembali menyala dan notifikasi WhatsApp masuk beruntun, rasanya seperti hujan yang kembali turun setelah kemarau panjang. Ada 17 pesan yang belum sempat kubaca, sebagian besar dari guru-guru yang menunggu konfirmasi. "Alhamdulillah, sudah Bu Yuna." "Sama2 ...bu Yuna....smg kita bisa bertemu lagi ...Aamiin." Mata dan hatiku hangat membacanya. Lalu datang pesan menyentuh dari Bu Bekti: "Maaf Bu tidak sempat screenshot... tapi sudah kok semoga Bu Yuna makin sukses ." Dan dari Bu Mafrudah, MTsN 6 Bantul: "Sampun mba Yuna. Sehat2 sukses sll."
Aku membaca sambil menggigit roti dingin yang dari tadi hanya kupindah-pindah. Rasa tawarnya tak sebanding dengan manisnya semangat dan kepercayaan dari mereka semua. Tiba-tiba, sebuah tautan muncul dari Pak Abdul Munir: "Wasiat Ali bin Abi Thalib Untuk Putranya."
Aku klik video itu dan membiarkan suaranya mengalun dari speaker laptop, perlahan tapi dalam. Di luar jendela, burung-burung pipit berkejaran di antara ranting, menciptakan harmoni alam yang menenangkan. Rasanya damai---bahwa di tengah riuh data dan laporan, masih ada ruang untuk merenung dan memperkuat niat.
Menjelang sore, aku menyandarkan punggungku. Kursi ini mungkin sudah terlalu lama kutempati hari ini, tapi justru di sinilah aku merasa kuat. Langit di luar berubah jingga. Kacamata kulepas, mataku berair bukan karena sedih, tapi lega.
Ibuku masuk membawa semangkuk sup ayam hangat. Aroma kaldu menyeruak, mengalahkan segala bau pekerjaan dan stres yang sempat menumpuk. Aku tersenyum padanya, lalu menutup laptop perlahan. Misi hari ini---setidaknya untuk grup AKMI---berjalan dengan baik.
Aku sadar, AKMI bukan hanya soal mengisi laporan. Ia adalah tentang dedikasi. Tentang keikhlasan yang tak terlihat di balik angka-angka. Tentang jalinan kolaborasi, yang walau tak saling bertatap muka, terasa nyata dari setiap "terima kasih" yang dituliskan. Dan hari itu, aku bersyukur menjadi bagian kecil dari ikhtiar besar itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI