Husen duduk di sudut ruang rapat, tatapannya kosong, menatap dinding putih di depannya. Di sampingnya, Yani dengan cermat mencatat setiap poin yang disampaikan narasumber webinar tentang Zona Integritas (ZI).
"Ingat Bapak Ibu, inovasi bukan cuma soal aplikasi," suara narasumber dari laptop di depan mereka menggema. "Banyak dari kita berpikir, 'Kalau tidak punya anggaran untuk bikin aplikasi baru, ya tidak bisa berinovasi.' Itu keliru besar!"
Yani mengangguk setuju. Ia melirik Husen yang masih tampak lesu.
"Sen, kenapa kamu murung begitu?" bisik Yani.
Husen menghela napas. "Kamu dengar sendiri kan, Yan? Zona Integritas itu butuh inovasi. Sementara kita, untuk sekadar beli printer baru saja harus menunggu anggaran tahun depan. Mana bisa kita bikin aplikasi canggih seperti yang mereka bilang itu?"
"Tapi narasumbernya bilang inovasi itu tidak harus aplikasi, Sen," sahut Yani, mencoba meyakinkan. "Bisa dalam bentuk kegiatan atau program."
"Ah, itu hanya teori," jawab Husen, skeptis. "Semua orang tahu aplikasi itu yang paling kelihatan, yang paling 'wah'. Kalau cuma program kegiatan, rasanya kurang greget."
Yani tersenyum kecil. "Kamu ingat cerita Man 2 Jakarta Timur yang tahun lalu dapat predikat WBK? Mereka bukan bikin aplikasi kok, Sen."
Husen mengangkat alisnya, penasaran. "Memang mereka bikin apa?"
"Mereka punya program yang memfasilitasi siswa untuk persiapan masuk perguruan tinggi," jelas Yani. "Mereka sediakan kelas intensif, dan guru-guru dijadikan konsultan. Jadi, kalau ada siswa yang bingung mau kuliah di mana, gurunya siap mendengarkan. 'Nak, kalau nilai kamu begini, kamu cocoknya masuk jurusan ini. Tapi kalau kamu mau ke kampus impianmu, kamu harus kerja lebih keras lagi.' Begitu."
Mendengar itu, Husen terdiam. Ia mulai membayangkan guru-guru di sekolah mereka yang punya banyak pengalaman dan pengetahuan. Ia melihat Yani, yang punya bakat luar biasa dalam mendengarkan keluh kesah orang lain. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya, bagai lampu yang menyala di kegelapan.