"Betul, Pak. Bahkan, ada juga yang lebih jujur," ujar Eko, menunjuk ke nama Gendis Ghania dengan buku "Tentang Caca". "Dia bilang buku itu 'membuat perasaan pembaca campur aduk'. Artinya, buku itu benar-benar menyentuh perasaannya."
Suasana semakin hidup ketika Laksmi menyoroti pilihan bacaan sejarah dan agama yang menarik dari siswa seperti Andrea Wiratha Imami, M. Aidil Ataullah, dan M. Adri Baqir Alfathan. Mereka membaca tentang Perang Parit dan Sahabat Nabi, lalu memberikan komentar yang begitu dalam.
"Mereka tidak hanya membaca cerita, tapi menyerap nilai-nilai luhur dan menumbuhkan rasa cinta tanah air," kata Laksmi penuh semangat.
Pak Hartawan mendengarkan setiap detail dengan saksama. Ia bangga, karena ia tahu, di dalam perpustakaan ini, di antara rak-rak buku yang kokoh dan harum, siswa-siswinya sedang menyulam ilmu dan merajut makna. Mereka tidak hanya belajar tentang pelajaran di sekolah, tetapi juga tentang kehidupan, sejarah, dan nilai-nilai kemanusiaan.
"Kelas 8F telah menjadikan perpustakaan ini sebagai taman ilmu, dan kalian, para petugas, adalah tukang kebunnya yang hebat," puji Pak Hartawan.
Di hari itu, di tengah heningnya perpustakaan, hati para petugas dan kepala madrasah terasa penuh. Mereka tahu bahwa setiap buku yang dipinjam dan setiap komentar yang ditulis adalah benang-benang yang merajut pribadi-pribadi tangguh, berwawasan luas, dan penuh makna. Semangat literasi itu terasa begitu manis, melebihi rasa kue bolu di tangan mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI