Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menjaga Warisan #2

16 Juni 2025   07:30 Diperbarui: 16 Juni 2025   07:30 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit Toraja menggantung mendung kelabu, namun suara dentingan bambu dan sorakan orang ramai justru menyulut semangat pagi itu. Yani dan Husen berdiri di antara kerumunan, mata mereka tak lepas dari arena lumpur tempat dua kerbau bule siap bertarung dalam Mapasilaga Tedong.

"Kamu cium baunya?" bisik Husen, memejamkan mata.
Aroma lumpur basah bercampur keringat kerbau, ditambah asap dupa dan rempah dari persembahan, menyesak di hidung.
"Bau tanah dan tradisi," jawab Yani sambil tersenyum.

Dentuman tanduk bertemu tanduk menggema keras. Kedua kerbau menyeruduk, membangkitkan cipratan lumpur yang mengenai wajah Yani. Ia tertawa, mencicipi jejak asin lumpur di bibirnya.
"Ini bukan sekadar pertarungan, ini penghormatan untuk leluhur," katanya dengan suara nyaris tenggelam di antara sorak sorai.

Beberapa minggu kemudian, Yani dan Husen berada di padang savana Sumba. Di cakrawala, debu mengepul diikuti derap kaki ratusan kuda.
"Pasola," gumam Husen.
Mereka bisa merasakan getaran tanah, menghentak ke telapak kaki seperti detak jantung bumi.

Suara pekik para penunggang memecah udara. Mereka melemparkan tombak kayu setebal jari tangan ke arah lawan. Tombak-tombak itu mendesis di udara, dan kadang menghantam perisai atau bahkan tubuh lawan.
Yani menggenggam tangan Husen erat.
"Kenapa mereka masih melakukannya?"
"Untuk meminta hujan, untuk hasil panen, untuk menjaga keseimbangan alam dan manusia," jawab Husen pelan.
Angin membawa bau keringat kuda, tanah kering, dan aroma akar-akaran yang dibakar dukun adat.

Dua bulan berlalu, mereka tiba di Semarang menjelang Ramadan. Kota ini bersiap merayakan Dugderan. Di tengah hiruk-pikuk pasar rakyat, anak-anak tertawa menyambut iring-iringan Warak Ngendok---makhluk aneh berkepala naga, bertubuh kambing, bersisik emas.

Yani tergelak melihat Husen mencoba permen arumanis warna-warni.
"Manis banget!" keluhnya sambil cemberut.
"Coba es puter ini. Segarnya kayak tiupan angin laut!" balas Yani sambil menyodorkan cangkir es.

Mereka menyusuri pasar yang penuh warna dan suara. Gamelan mengalun dari kejauhan. Bau dupa dan jajanan goreng menari-nari di udara. Seorang penjual mendongeng tentang Warak Ngendok: simbol akulturasi Jawa, Arab, dan Cina.
"Tradisi di sini bukan hanya dipertontonkan," ujar Yani, "tapi dirayakan lewat semua indera---dilihat, dicium, dirasa, didengar, dan disentuh."

Malam itu, di bawah langit Semarang yang berkilau lampu, Yani dan Husen duduk di bangku taman, diam.
"Kita sudah melihat kerbau bertarung, tombak melayang, dan makhluk mitos berjalan," kata Husen.
"Tapi yang paling terasa," sahut Yani, "adalah bahwa Indonesia tidak hanya kaya, tapi hidup di setiap langkah yang kita jejak."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun