Mak masih uring-uringan di dapur, mendekap keranjang kosong yang biasa dipakai untuk menampung daging kurban.
"Dari pagi orang-orang udah bawa plastik putih isinya daging, kita masih nunggu," katanya sambil mengelus dada.
Aku duduk di teras, memandangi rak sepatu. Kupon kurban itu masih ada di sana, kertas kecil yang kini tak lebih dari kenangan kecerobohan. Tahun lalu, kupon dibagikan H-2, tapi daging habis dan diganti duit. Mak bilang, "Uang gak bisa direbus pakai daun salam, Nduk." Hari ini sejarahnya terulang---dengan caraku sendiri.
Tiba-tiba HP-ku bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor tak tersimpan.
"Mbak, saya dengar dari pejagal teman saya, di Way Halim masih ada sisa daging. Saya kirim ojek ke sana ya, saya sudah bayar."
Namanya muncul di akhir pesan: Koko. Suplier minuman itu yang dulu minta nomorku saat mampir ke tempat kerja. Kupikir cuma basa-basi. Ternyata dia ingat. Aku menangis diam-diam, lalu balas pesan.
"Makasih ya, saya gak tahu harus bilang apa."
Tak lama kemudian, ojek datang. Mak menyambut dengan air mata. "Alhamdulillah... akhirnya bisa juga kita makan rendang kayak orang-orang."
Aku memasak sambil menyeka air mata, mencium aroma sedap daging yang mendidih bersama rempah. Saat mengaduk, aku teringat wajah pacarku yang kini di rutan. Suatu saat ia bilang, "Kalau nanti keluar, aku mau kerja keras dan nikahi kamu. Gak usah muluk-muluk, yang penting halal dan bahagia."
Aku masih ingat kata-katanya: "2026 waktunya nikah, tapi 2025 juga masih ada harapan."
Dan mungkin harapan itu mulai tumbuh hari ini. Dari sepiring daging kurban, dari pesan sederhana, dari orang-orang yang diam-diam peduli.
Malamnya, aku dapat pesan lagi dari cowokku yang brondong, si pemancing itu.
"Maaf, aku terlalu diam. Tapi aku tahu kamu capek. Aku cuma takut... takut kamu gak bahagia kalau sama aku."
Untuk pertama kalinya, aku tak membalas dengan marah, melainkan dengan jujur.
"Kalau kamu sayang, mari kita jujur dan jalan bareng. Tapi kalau enggak, aku bisa sendiri."
Esoknya, dia pulang membawa sekotak umpan pancing dan seikat bunga melati. "Aku gak bawa cincin, tapi aku siap. Kita bisa mulai dari nol, dari Natar kalau perlu," katanya.
Mak menatap kami dari dapur sambil senyum-senyum. "Daging kurban tahun ini rasanya beda, ya?"
Aku mengangguk. Mungkin karena akhirnya aku mendapat sesuatu yang jauh lebih berharga dari sekadar sepotong daging: kejelasan, niat baik, dan secercah masa depan yang mulai punya bentuk.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI