Mohon tunggu...
Mr WinG
Mr WinG Mohon Tunggu... guru

bersepeda

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ketika Air Mata Bercampur Air Banjir

11 Februari 2025   15:17 Diperbarui: 11 Februari 2025   15:17 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Pagi itu, mentari belum juga muncul. Aku sudah terbangun pukul lima pagi. Setelah merapikan tempat tidur, aku bergegas ke masjid untuk salat subuh. Usai salat, aku mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah.

Di sekolah, aku membersihkan meja dan menyapu kelas sebelum pelajaran dimulai. Hari ini, kami belajar IPS tentang kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia. Saat pelajaran zuhur, aku menahan batuk. Pak Win, guruku, mengira aku tertawa. Aku pun dihukum mengetik kalimat, "Aku tidak akan tertawa saat pelajaran". Aku pasrah dan menerima hukuman tersebut.

Kemarin, aku diajak oleh teman ayahku untuk bekerja mencuci kendaraan. Lumayan, satu motor dihargai lima ribu rupiah. Uang hasil kerja keras bisa buat jajan. Aku punya empat adik. Aku adalah anak pertama dan anak tertua. Aku ingin segera lulus dan masuk SMK Negeri 2 Bandar Lampung di dekat Unila supaya bisa menghemat ongkos bensin karena dekat rumah.

Oh iya, handphone-ku rusak. Aku sedang menabung untuk membeli LCD baru. Uang yang terkumpul baru lima puluh ribu, masih kurang dua ratus lima puluh ribu lagi. Aku harus lebih giat menabung.

Beberapa waktu lalu, rumahku kebanjiran. Air masuk ke dalam rumah sampai hampir mencapai atap. Hujan deras mengguyur dari jam empat sore sampai magrib. Aku berusaha membuang air yang menggenang di dalam rumah. Setelah selesai, aku tidur. Namun, tiba-tiba ibuku membangunkanku karena air naik lagi, padahal tidak hujan. Aku terkejut melihat air sudah setinggi lutut. Semakin lama, air semakin naik hingga akhirnya mencapai dada. Aku segera menyelamatkan barang-barang elektronik ke tempat yang lebih tinggi.

Saat tengah malam, air sudah mencapai atap rumah. Semua warga mengungsi ke masjid. Di masjid, listrik padam. Banyak warga yang membawa motor. Aku berkeliling melihat rumah-rumah yang sudah jebol temboknya. Ternyata, itulah sumber masalah banjir. Aku juga melihat mobil-mobil yang sudah tenggelam. Saat menyusuri jalanan, aku menemukan mainan bagus sekarung. Lumayan, bisa buat adik-adikku di rumah.

Pukul 02.40, air mulai surut. Aku membantu orang tuaku membersihkan rumah. Pagi harinya, ada bantuan datang berupa pakaian, makanan, dan lain-lain. Aku melihat tetangga-tetanggaku yang sudah kecapean dari malam sampai siang tidak ada istirahatnya. Aku pun membantu mereka mengangkat kasur, lemari, dan lain-lain.

Pengalaman ini sangat berharga bagiku. Aku belajar tentang pentingnya kerja keras, hemat, dan saling tolong-menolong. Aku juga belajar tentang bagaimana menghadapi musibah dan bangkit dari keterpurukan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun