Mohon tunggu...
Mory Yana Gultom
Mory Yana Gultom Mohon Tunggu... Administrasi - Not an expert

servant

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Apa Kabar Komunitas Air Mata Guru?

23 Juli 2015   11:16 Diperbarui: 23 Juli 2015   11:16 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

9). Memosisikan KAMG sebagai rekan masyarakat untuk memperjuangkan pendidikan, dan 10).

Memperkuat manajemen dan organisasional, pendanaan dan humas KAMG di tengah kondisi bangsa yang sangat memprihatinkan, orang-orang yang peduli tentu gelisah dan tertantang untuk melakukan perbaikan dan pemulihan di berbagai bidang. Maka mengambil bagian dalam memperbaiki pendidikan adalah sebuah keniscayaan karena di dalam pendidikan ada pembentukan pribadi yang utuh dari seorang manusia yang kelak hadir menjadi garam dan terang di berbagai aspek kehidupan di tengah bangsa. Melihat keadaan tersebut, Komunitas Air Mata Guru terpanggil dengan tekad untuk membangun pendidikan yang berkualitas dan berhati nurani.

Sejak tahun 2007 hingga sekarang, KAMG telah mengukir sejarah dengan membongkar dosa struktural dunia pendidikan. Salah satu gerakan KAMG sejak saat itu yang terasa begitu nyata di tengah masyarakat, khususnya pendidikan adalah perjuangan menentang pelaksanaan Ujian Nasional sebagai syarat kelulusan bagi para siswa di berbagai jenjang pendidikan. Dasar penolakannya pun begitu fundamental jika tidak ingin disebut radikal. Selama bertahun-tahun pelaksanaan UN, alih-alih kemajuan pendidikan, justru amburadulnya integritaslah yang dihasilkan dari generasi yang konon akan menjadi pemimpin bangsa itu. Bukannya mengevaluasi hasil belajar, UN malah lebih menjadi sidang bagi siswa. Mengikutinya berarti menunggu vonis, yang pilihannya hanya ada dua: lulus atau tidak! Tentu saja tidak ada pihak yang menginginkan pilihan kedua. Orang tua, siswa, bahkan guru atau pihak sekolah. Orang tua dan siswa tidak rela pendidikan anak terhambat karena tidak lulus UN. Belum lagi kondisi psikologis yang harus ditanggung anak. Terbukti, beberapa orang diberitakan mengakhiri hidupnya (bunuh diri) karena tidak lulus UN. Bagi pihak sekolah, persentase kelulusan siswa menjadi semacam “brand” bagi sekolah. Semakin tinggi angka kelulusannya, semakin tinggi pula kualitasnya di mata masyarakat dan pemerintah, dan akan semakin disayang pulalah ia oleh Dinas Pendidikan. Akhirnya semua pihak sepakat, bahwa siswa harus lulus. Tidak perduli apakah ia bodoh sekali atau cerdas sekali. Ambisi kelulusan ini menjadikan semua pihak gelap mata. Apapun akan dilakukan asal lulus. Inilah yang diusut oleh KAMG selama bertahun-tahun sebagai dasar mereka menolak Ujian Nasional yang didaulat menjadi syarat kelulusan.

Praktek kecurangan terjadi di tiap sudut penyelenggara pendidikan. Lembaga-lembaga pendidikan non-formal seperti bimbingan belajar mulai membuka kelas-kelas yang menjamin kelulusan siswa dalam UN. Konon, mereka memiliki kunci jawaban yang dibagikan kepada siswa yang siap membayar lebih. Ah, pendidikan menjadi peluang bisnis yang sangat menggiurkan. Kepala sekolah memerintahkan guru-guru pengawas agar menjadi tim sukses penyalur kunci jawaban. Tak sedikit pula siswa rela menggelontorkan uang jutaan demi mendapatkan kunci jawaban. Pendidikan yang kita impikan untuk mencerdaskan kehidupan sekaligus menjadi wadah bagi pembinaan moral anak setelah dari keluarga dihancurkan begitu saja oleh Ujian Nasional yang tidak jelas tujuan pelaksanaannya. Indonesia mestinya mampu mengadopsi prinsip pendidikan di Finlandia: “Prepare the kids for the life, not for test!”

Perjuangan Belum Usai

Apa yang dilakukan KAMG sungguh merupakan sebuah niat dan gerakan yang pantas didukung sekaligus diapresiasi. Bagaimanapun, sedikit banyak perjuangan mereka telah dirasakan di berbagai kalangan. Mata kita akhirnya terbuka terhadap kondisi pendidikan di bangsa ini. Pun terhadap kenyataan bahwa meski sedikit, masih ada guru-guru yang berani mengangkat tangan dan suara menolak ketidakbenaran yang sudah mendarah daging. Melawan arus. Padahal, mereka harus menanggung resiko atas “pemberontakan” ini. Beberapa guru yang tergabung dalam komunitas ini misalnya, terpaksa harus beranjak dari sekolah tempatnya mendidik karena diberhentikan oleh Kepala Sekolah. Selebihnya, harus rela diasingkan oleh rekan-rekan di sekolah karena dipandang terlalu idealis bahkan tidak punya hati karena tidak bersedia menjadi tim sukses UN. Sebuah prinsip yang amat langka di tengah zaman ini. Sayangnya, perjuangan itu tampaknya kini redup. Tak lagi terdengar perjuangan para guru yang dulu mencucurkan air mata itu. Mungkinkah mereka tak lagi menangis melihat kondisi pendidikan sekarang? Atau mungkin pendidikan kini sudah dipandang baik? Memang UN tak lagi menjadi penentu kelulusan siswa. Namun hal itu tetap tidak bisa menciptakan siswa bahkan pendidik yang berkarakter lewat kejujuran. Itu masih soal UN. Masih banyak hal lain yang seharusnya menjadi PR bagi pemerintah untuk membenahi pendidikan kita. Kurikulum, sarana dan prasarana sekolah, gaji guru, sertifikasi, pendidikan bagi warga tidak mampu, kekerasan di sekolah, distribusi guru yang tak berkeadilan dan lain-lain. Pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Butuh pemerhati yang terus bersuara, mendukung, mengkritik, bahkan terlibat di dalamnya. Dan KAMG mestinya menjadi salah satu komunitas yang terus melakukan itu. Meneruskan pekerjaan yang telah dimulai. Karena perjuangan kita belum usai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun