Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Jadi, Sampah Lebaran

11 April 2024   04:20 Diperbarui: 11 April 2024   04:39 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saling Memaafkan  (sumber : pribadi, bing.com) 

Ah. Ini bukan iklan. Bukan iklan, seorang anak yang melihat sampah selepas melaksanakan shalat idul fitri. Tetapi, kejadian ini pun, memang bukan sekedar iklan, melainkan sebuah kenyataan. Kenyataan dalam kehidupan kita saat ini, hari ini, dan tidak jauh dari kehidupan kita di sini.

"Ayah, bagaimana sampah-sampah bekas lebaran ini di tinggalkan ?" ungkap seorang anak turut serta orangtuanya melaksanakan ibadah shalat idul fitri di lapangan, dan kemudian melihat kenyataan hari itu. Sebuah gejala yang ironik dalam kehidupan kita. Baru saja terjadi, dan mungkin jadi, seringkali terjadi. 

Sewaktu pagi. Banyaklah berebutan. Karena merasa sangat membutuhkan, lembaran kertas koran itu, diperebutkan banyak orang. Tidak sedikit yang merasa kecewa karena tidak mendapatkannya. Sebagian diantaranya juga, banyak yang rela mengeluarkan pengorbanan yang tidak kecil untuk ukuran selembar kertas. Sekedar lembaran kertas koran.

Seakan melupakan pengorbanan yang dikeluarkan sebelumnya, sesuatu hal yang dianggap tidak berguna lagi, kemudian ditinggalkannya. Begitukah manusia ? atau begitulah kehidupan ?

Seakan melupakan manfaat yang pernah dirasakan dan dinikmati sebelumnya, sesuatu yang dianggap sudah tidak memberikan manfaat lagi kepada dirinya, kemudian lembaran kertas koran itu pun ditinggalkannya. Begitukah manusia ? atau begitulah kehidupan ?

Begitulah kehidupan ?! 

Keheranan bocah cilik itu, ternyata keheranan yang sesaat. Karena, dalam beberapa detik kemudian, muncullah sejumlah orang yang berusaha memungut sampah-sampah lebaran itu, untuk dikumpulkan. Dikumpulkannya dalam satu tempat, dan kemudian dia lakukan langkah kehidupan berikutnya.

Satu kelompok. Ada yang mengumpulkan sampah-sampah itu, untuk sekedar mengumpulkannya. Karena dirinya adalah petugas kebersihan. Mengumpulkan dan membuangnya adalah kehidupannya, sampah itulah yang menjadi sumber kehidupannya.  Kelompok ini sekedar memindahkan sampah lebaran dari satu tempat ke tempat lainnya, dan sampah lebaran tetaplah menjadi sampah lebaran di tempat lain.

Satu kelompok lagi, mereka mengumpulkan sampah lebaran dengan maksud untuk dikumpulkan, dan dijualnya ke pengepul kertas lainnya. Kelompok ini pun sekedar memindahkan sampah lebaran dari kelompok satu ke kelompok lainnya, dan sampah lebaran tetaplah menjadi sampah di tempat orang lain.

Satu kelompok lagi datang dengan maksud untuk mengumpulkan dan mengolahnya. Onggokan kertas, yang dianggap tak berguna, banyaklah sudah terubah menjadi kompos, atau malah menjadi bahan dasar daur ulang kerajinan unik ditangan-tangan kreatif. 

Sampai di titik ini, dihadirkan kembali  kegelisahan awal, itulah kehidupan atau itukah kehidupan ?!

Banyaklah sudah diantara kita, begitu peka dan peduli pada sampah-lingkungan. Sampah itulah yang membuat beban bagi bumi, dan kotoran di lingkungan. Namun, sadarkah kita, bahwa ada sampah yang jauh  lebih berbahaya dari itu semua..?!

Cinta adalah nilai sejati kemanusiaan. Hasrat, libido, gairah, nafsu adalah sampah emosi yang menyelimutinya dan mengotorinya, hingga kesucian dan kebersihan jiwa tertutupi, bahkan manusia terkelabui oleh nafsunya sendiri.

Banyaklah sudah diantara kita, begitu peka dan peduli pada sampah-lingkungan. Sampah itulah yang membuat beban bagi bumi, dan kotoran di lingkungan. Namun, sadarkah kita, bahwa ada sampah yang jauh  lebih berbahaya dari itu semua..?! padahal ada sampah pikiran, sampah rasa, sampah jiwa, sampah karsa. Sesuatu yang sudah tiada guna dan tak bermakna, masih hinggap dan menyelimuti langkah kehidupan kesehariannya !

Saat kehidupan kita, diselimuti banyak sampah, maka jangan-jangan, kenyataan itu bukanlah kenyataan, karena kenyataannya itu adalah hayalan.  Kenyataan itu, bukanlah kehidupan, tetapi itulah bentuk dari sebuah kematian !! 

Bisa jadi, telapak tangan saling menjabat, namun hatinya tidak saling menyapa. Telapak tangganya sudah tiada guna, jabatan tangannya tiada bermakna. Tangan dan jemari, hanyalah sampah belaka.  Tangan yang kehilanagn kuasa, sekedar belulang tanpa darah. Itulah kematian karsa, dan itulah sampah lebaran.

Bisa jadi telinga mendengar khutbah idul fitri, tetapi hatinya tidak menyimaknya. Telinga sudah tiada guna, pendengarannya sudah tiadak bermakna. Kuping sekedar daun, yang sudah kehilangan selaput. Itulah kematian pikiran, dan itulah sampah lebaran.

Bisa jadi, pintu rumah dibuka selebar-lebarnya, tetapi hatinya menutup rapat maaf pada sesama. Pintunya sudah tiada guna, keterbukaannya sudah tiadak bermakna. Rumah sekedar batu-bata, yang sudah kehilangan penghuni. Itulah kematian jiwa, dan itulah sampah lebaran.

Bisa jadi, toples bertebaran di ruang meja makan, tetapi kemiskinan empati kepada sesama mencuat disaat lebaran. Ruang meja makannya sudah tiada guna, makanannya sudah tak  berasa. Makanan yang kehilangan nutrisinya,  mewujud sekedar ampas. Itulah kematian rasa, dan itulah sampah lebaran.

Sampai di titik ini, Sang Ayah berujar kepada anaknya, "bisa jadi, kalau sampah lebaran di lapangan itu, masih bisa dimanfaatkan dan bermanfaat bagi orang lain, lantas, bagaimanakah nasibnya jika ada manusia yang menjadi sampah lebaran ?"

Saat masih dibutuhkan, dijadikan rebutan. Selepas hilangnya rasa dan manisnya, yang tertinggal hanyalah ampas. jadilah sampah, dan ...ditinggalkannya. Apakah itu kehidupan ? atau justru itulah kematian-rasa dan pikiran manusia belaka ?!

Tidak ada yang berujar lagi. Hanya pikiran dan rasa ini melayang, entah ke arah mana. layang-layang pikiran dan rasa ini, terbang, seakan mencari tempat pijakan yang bisa dijadikan harapan, harapan  menghidupkan rasa, karsa, jiwa dan pikiran di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun