Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mistifikasi UU Cipta Kerja, Apa Itu?

23 Oktober 2020   07:24 Diperbarui: 23 Oktober 2020   11:09 2992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mistifikasi. Sebuah istilah kerap meluncur dari lisan seorang Pengajar Hukum UGM, Zaenal Arifin Mochar, saat membincangkan ragam komentar, tanggapan, atau pembelaan diri dari elit negara, dan elit partai pendukung UU Cipta Kerja.

Sebagai orang awam, sudah tentu, tidak dengan mudah untuk memahami makna dasar, dan atau cara penggunaan dari konsep mistifikasi tersebut. Apa sih, yang dimaksud dengan misifikasi tersebut.

Coba cari-cari di sejumlah kamus, khususnya bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, kita akan mendapatkan pencerahan sedikit mengenai makna dasar itu.

Yang paling gampang adalah di Google translate. Kita tulis kata mystification, maka akan muncul penerjemahannya yang masih berbahasa Inggris. Mistifikasi. Belum ada padanan khusus untuk di bahasa Indonesia, versi Google translate. Kemudian, kita sedikit pergi juga  ke kamus elektronik, misalnya Kamus Oxford, dari kamus ini akan ada keterangan bahwa mistifikasi itu adalah "perasaan bingung, karena kita tidak memahami". 

Justru di sinilah masalahnya. Kita kan lagi bingung dengan istilah mistifikasi. Eh, ternyata, makna dasar dari kamus Oxford itu, dan juga dalam kamus Cambridge. Malah lebih tegas dan kritis lagi, dalam kamus itu, disebutkan bahwa sesuatu yang mengalami mistifikasi adalah sesuatu hal yang tidak mungkin bisa dipahami atau dimengerti orang lain (the impossible to understand).

Lha..... jadi, apa makna bahwa narasi yang dilakukan oleh para pembela UU Cipta Kerja itu? Kan, masalahnya, para pembela UU CIpta Kerja merasa paham, mengerti dan yakin pada maksud dan tujuan dihadirkannya UU Cipta Kerja, tetapi kemudian, pihak yang kontra malahan menyebutnya sebagai penjelasan mistifikasi, Mengapa demikian?

Pertama, komunikasi yang tidak lancar. Akibat dari pola komunikasi yang buruk, sehingga pesan dasar dari UU Cipta kerja ini, tidak bisa dipahami, atau tidak mudah dipahami oleh orang lain. Atau memang, jangan-jangan, antara juru komunikasi UU Cipta Kerja dengan penyusun konsep tidak nyambung, atau juru komunikasi belum paham substansi UU Cipta Kerja, tetapi kebetulan ditugaskan untuk pasang badan di hadapan publik, sehingga penjelasannya malah membingungkan ?

Kedua, UU ini mengalami mistifikasi karena, ada pesan ideologis yang terkandung dalam pesan-pesan UU yang belum jelas, atau setidaknya masih diduga bermuatan kepentingan kelompok tertentu.

Saya rasa, kalangan guru atau dosen, paham dengan kasus ini. Banyak mahasiswa yang menulis sesuatu, tetapi tidak tahu makna dan arah pembicaraannya. Orang kritis bisa paham, yang tidak kritis akan menganggapnya hal biasa. Di sinilah, perbedaan orang yang paham sejarah konsep dan medan makna dari sebuah pernyataan (logika peraturan). Orang kritis, akan menganggap tidak ada masalah, sedangkan orang kritis melihat ada "cacat logika" atau "cacat maksud" dari sebuah pernyataan. Bila kedua orang ini dihadapankan, dan kemudian 'kerasa kepala', maka yang ada adalah kebigungan.

Ketiga, para pembela UU Cipta Kerja, lebih mengedepankan sikap represif. Misalnya menggunakan pasal Hoax, menggunakan pasal anarki dalam demonstrasi, dan UU ujaran kebencian untuk meredam pihak-pihak yang masih belum paham terhadap urgensi undang-undang dimaksud. Dalam konteks itu, maka "omni comment" terhadap undang-undang ini, seakan tidak pernah atau tidak akan berhenti. Semakin refresidf, semakin tinggi kecurigaan, karena sejatinya kebenaran itu tidak butuh kekerasan. Tindakan kekerasan itu, hanya akan terjadi pada dua kasus, (1) kepentingan dirinya terusik, dan (2) bermaksud untuk memaksanakan kehendak kepada orang lain. Ujungnya juga menjadi tidak jelas. Mistifikasi, masa iya sih, niat baik harus dibuat dengan cara tidak baik ?!

Keempat, para pembela UU begitu yakin pada dogma. Khususnya dogma, "UU itu untuk kesejahteraan rakyat", "pemerintah sangat transparan dan demokratis", tapi tidak dengan terbuka membuka dialog dengan pihak yang belum sepaham. Padahal diakui atau tidak, kehadiran demokrasi itu adalah meminimalisir dogma-dogma yang diyakini benar oleh kaum feodalis atau aristokrat!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun