Problem yang paling dilematis, adalah jika sebuah pendapat, cuitan atau status di medsos kita, disebut sebagai sebuah berita palsu atau hoax. Maka, status, pandangan, pendapat, komentar, atau status di medsos masyarakat yang diposisikan sebagai hoax, maka ancamannya sudah jelas, yaitu pemidanaan. Aparat keamanan sudah siap. Senjata ini, termasuk senjata paling ampuh di era digital ini, untuk mengamankan orang-orang yang diduga melakukan penyebaran berita palsu, bohong atau hoax.
Lagi-lagi masalahnya adalah apakah pendapat yang salah termasuk bohong? Apakah kalau seorang siswa menjawab dengan salah, dapat disebut  hoax? Rasanya tidak. Karena salah lebih disebabkan karena data atau sumber yang tidak tepat, sedangkan hoax adalah memanipulasi data dan sumber, sesuai dengan kepentingan si penggunanya.Â
Dengan kata lain, hoax merupakan informasi yang direkayasa dengan maksud menyesatkan opini atau pemikiran orang lain, sedangkan pandangan yang salah, lebih disebabkian karena ketidaklengkapan data buah dari ketidaktahuan.
Dalam sebuah media disampaikan. Orang banyak yang ditangkap polisi karena menyebarkan hoax terkait UU Cipta Kerja. Logika normal kita, disebut hoax jika undang-undangnya sudah berlaku.Â
Bagaimana kita bisa menyebut hoax, jika pernyataan tertentu dalam UU tersebut pun, belum disahkan. Artinya, jika kita mengatakan, bahwa dalam UU itu adalah pembahasan "tentang odading mang Oleh", apakah pernyataan ini disebut Hoax, sementara UU-nya juga belum ada? atau, orang awam bertanya, mungkinkah ada tindakan hoax mengenai sebuah produk UU, yang UU-nya belum ada?
Hal yang menariknya lagi, simpangsiur berita itu, bukan sekedar di media massa, tetapi juga di 'lisan pejabat'. Sebut saja, misalnya, mengenai jumlah halaman undang-undang Cipta kerja ini. Ombibus Law ini, memiliki halaman 800-an halaman atau 900-an halaman? Penyebutan angka itu, salah menghitung atau hoax dalam hitungan?
Dalam situasi ini, kita merasakan produk politik yang omni ini, melahirkan omni-comment dan juga ommi-hoax.......
Lha kenapa ya?