Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

"Omni-comment" Omnibus Law, Ada "Omni-hoax"?

15 Oktober 2020   05:26 Diperbarui: 15 Oktober 2020   06:59 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tidak semua orang tahu, apa yang dimaksud dengan omnibus law. Istilah ini asing dalam telinga masyarakat awam, dan juga masyarakat non-hukum. 

Bagi mereka yang terbiasa berkecimpung dengan peraturan perundangan, mungkin istilah ini sudah biasa. Karena, kata omnibus, sering digandeng dengan kata law, atau bill (omnibus bill), dengan maksud untuk menjelaskan mengenai sebuah perundangan yang menggabungkan atau mengompilasi sejumlah peraturan dengan substansi dan derajat yang berbeda. 

Tidak mengherankan, bila kemudian dalam omnibus law atau omnibus bill itu bisa terdapat klaster ekonomi, kesehatan, pendidikan, lingkungan hidup, UMKM dan lain sebagainya.

Nah, pertanyaan, mengapa omnibus law kita saat ini, ramai dibicarakan?

Jawaban pokoknya, karena omni itu mengandung arti banyak atau semua. Jadi, peraturan perundangan yang berstatus omnibus ini, akan mencakup banyak sektor, dan akan berdampak pada semua orang. Karena itu, tidak mengherankan, bila kemudian, memancing banyak koment, dan banyak pihak yang bersuara. 

Dalam konteks wacana, sebuah narasi yang baik itu adalah narasi yang mengundang pemikiran banyak orang. Karena itu, narasi omnibus law, sebenarnya termasuk produk pemikiran yang menarik, karena memancing banyak orang untuk memikirkannya!

Dalam situasi serupa itulah, reaksi yang tidak proporsional dari pejabat negara menjadi tidak "menarik". Disebut tidak menarik, karena produk hukum yang berstatus omni, kemudian tidak dibicarakan secara omnipihak. Akibat dari situasi serupa itu, lahirkan banyak komentar (omni comment).

Situasi yang memprihatinkan, justru malah terjadi omni-tuduhan, dan omni penangkapan. Aktivis itu ditangkap, demonstran ditangkap, kelompok ini dituduh, dan kelompok yang ini, dicurigai. Omni tuduhan dan pemidanaan, terjadi dihampir berbagai sudut dan dari berbagai kalangan. Mengapa?

Pertama, saya yakin, penangkapan ini, bukan karena berbeda pendapat tentang substansi dari Omnibus Law Cipta Kerja. Karena perbedaan pendapat itu adalah hak asasi dan dilindungi oleh Undang-Undang. Hanya saja, kalau ada yang memandang, bahwa beda pendapat itu sebagai bentuk sikap mengganggu stabilitas negara, yang kita tidak tahu, ujung dari sikap seperti ini.....

Kedua, saya yakin, kalau salah dalam berpendapat, bukanlah sebuah tindakan kriminal. Seorang mahasiswa, salah atau tidak tepat dapat berpendapat, rasanya tidak boleh dikelompokkan sebagai tindakan kriminal. 

Kalau seorang pelajar berpendapat salah, seorang mahasiswa berpendapat salah, atau rakyat berpendapat salah, maka itu bukanlah sebuah tindakan kriminal. Kecuali kalau pemerintah, atau aparat mengartikannya, kesalahan itu sebagai sebuah tindakan kriminal, maka kita tidak akan tahu ujung dari sikap serupa itu....  

Problem yang paling dilematis, adalah jika sebuah pendapat, cuitan atau status di medsos kita, disebut sebagai sebuah berita palsu atau hoax. Maka, status, pandangan, pendapat, komentar, atau status di medsos masyarakat yang diposisikan sebagai hoax, maka ancamannya sudah jelas, yaitu pemidanaan. Aparat keamanan sudah siap. Senjata ini, termasuk senjata paling ampuh di era digital ini, untuk mengamankan orang-orang yang diduga melakukan penyebaran berita palsu, bohong atau hoax.

Lagi-lagi masalahnya adalah apakah pendapat yang salah termasuk bohong? Apakah kalau seorang siswa menjawab dengan salah, dapat disebut  hoax? Rasanya tidak. Karena salah lebih disebabkan karena data atau sumber yang tidak tepat, sedangkan hoax adalah memanipulasi data dan sumber, sesuai dengan kepentingan si penggunanya. 

Dengan kata lain, hoax merupakan informasi yang direkayasa dengan maksud menyesatkan opini atau pemikiran orang lain, sedangkan pandangan yang salah, lebih disebabkian karena ketidaklengkapan data buah dari ketidaktahuan.

Dalam sebuah media disampaikan. Orang banyak yang ditangkap polisi karena menyebarkan hoax terkait UU Cipta Kerja. Logika normal kita, disebut hoax jika undang-undangnya sudah berlaku. 

Bagaimana kita bisa menyebut hoax, jika pernyataan tertentu dalam UU tersebut pun, belum disahkan. Artinya, jika kita mengatakan, bahwa dalam UU itu adalah pembahasan "tentang odading mang Oleh", apakah pernyataan ini disebut Hoax, sementara UU-nya juga belum ada? atau, orang awam bertanya, mungkinkah ada tindakan hoax mengenai sebuah produk UU, yang UU-nya belum ada?

Hal yang menariknya lagi, simpangsiur berita itu, bukan sekedar di media massa, tetapi juga di 'lisan pejabat'. Sebut saja, misalnya, mengenai jumlah halaman undang-undang Cipta kerja ini. Ombibus Law ini, memiliki halaman 800-an halaman atau 900-an halaman? Penyebutan angka itu, salah menghitung atau hoax dalam hitungan?

Dalam situasi ini, kita merasakan produk politik yang omni ini, melahirkan omni-comment dan juga ommi-hoax.......

Lha kenapa ya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun