Mohon tunggu...
Momon Sudarma
Momon Sudarma Mohon Tunggu... Guru - Penggiat Geografi Manusia

Tenaga Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gapleh, Gaul tapi Soleh

4 Juli 2018   07:07 Diperbarui: 4 Juli 2018   07:24 1075
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hasil gambar untuk gaul tapi soleh (.jualo.com)

"mamah dan aa, curhat doong !". itulah salah satu jargon yang tengah populer di Indonesia. Pernyataan itu merupakan salah satu bahasa gaul yang muncul dan berkembang di lingkungan masyarakat-pemirsa televisi. bahasa gaul itu digunakan sebagai 'password' bila ingin mengajukan pertanyaan ke ustadz (penceramah) yang menjadi pemateri dalam acara tersebut.

Ada yang menarik dari fenomena ini. Dalam sepuluh tahun terakhir ini, memang upaya-upaya para mubalidh Indonesia membangun citra Islam gaul. Selain penggunaan password seperti itu, para mubaligh yang ada berusaha untuk 'mendesakralisasi' atau 'mendobrak feodalisti' kebahasaan.

Selama ini, orang yang dianggap ahli agama, akan mendapat panggilan yang sangat luhur, seperti sebutan Kyai atau ustad. Panggilan ini begitu sangat kuat, kental dan mengandung wibawa yang sangat hebat. Kata atau sebutan ini memiliki 'citra' dan 'makna' sosial yang sangat gagah dan tinggi dihadapan masyarakat Islam dan juga masyarakat lainnya. Namun, sekali lagi harus ditegaskan, bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, sebutan-sebutan terhadap seorang guru ngaji, tidak segagah sebutan masa lalu.

Bila di zaman tahun 1990-an, kita mengenal ada 'kyai sejuta umat', 'kyai kondang', dan sejenisnya, maka pada akhir-akhir ini, kita mengenal penceramah dengan sebutan 'aa, mamah, uje, kang,". Sebutan-sebutan seperti ini, secara psikologis sudah tentu berbeda, baik dari sisi 'kewibawaan maupun psikologi sosial.

Seorang penceramah akan terasa dekat (psikologi sosial), bila memosisikan diri sebagai aa atau  mamah dihadapan masyarakat. Hal ini akan jauh berbeda dengan penyebutan ustadzah atau kyai.  Tanpa harus menyebutkan bahwa wibawa aa lebih rendah dari Kyai, namun kedua kata tersebut memiliki dan mengandung makna kewibawaan yang berbeda. Sebutan kyai mengandung makna kewibawaan suci, sedangkan makna aa atau  mamah, memiliki kewibawaan budaya/sosial atau kegaulan.

Pada konteks yang terakhir itulah, sesungguhnya kita dapat menemukan adanya trend berkembangnya Islam gaul di Indonesia. Trend budaya Islam gaul ini berbeda dengan apa yang terjadi di lingkungan masyarakat Islam lainnya, di belahan bumi yang lain.

Di lingkungan masyarakat Indonesia, Islam Indonesia berbeda dengan apa yang terjadi di lingkungan Brunei Darrussalam atau Arab Saudi. Kedua negara tersebut, juga  negara-negara berpenduduk muslim lainnya, memiliki karakteristik budaya islam yang berbeda dengan apa yang tampak di lingkungan masyarakat Islam Indonesia. tidak mengherankan, bila kemudian dikatakan bahwa tata kehidupan masyarakat Islam Indonesia itu muncul seiring selaras dengan warna kebhinnekatunggalikaan Indonesia itu sendiri.

Dino Patti Djalal (2008:291) Islam Indonesia mampu memadukan prinsip 'three in one", sebuah prinsip yang belum tentu ada di negara lain. Three in one ini, yaitu Islam, modernity dan democracy.  Perpaduan dari ketiga prinsip ini, sulit ditemukan di Negara-negara lain.  Brunei Darrussalam mampu menerapkan prinsip Islam, namun tidak mampu menunjukkan gaya kedemokrasian, Arab Saudi mampu menunjukkan sikap Islam tidak mampu menunjukkan kedemokrasian. Oleh karena itu, masyarakat Islam Indonesia merupakan satu bentuk realitas sosial yang unik dan menarik perhatian banyak orang.

Nurcholish Madjid memberikan penjelasan lebih unik lagi. Bahwa semenjak tahun 1970, dia melihat gejala penguatan tatanana kehidupan masyarakat Indonesia pada tiga titik pilar utama. Hanya saja, pilar three in one yang dikembangkan Nurcholish Madjid ini berbeda dengan yang dikemukakan Dino Patti Djalal. Dia menyebutkan bahwa Indonesia berpegang pada tiga kaki, yang disebut keislaman, keindonesiaan dan kemodernan. Spirit demokrasi dalam pemahaman Nurcholish merupakan bagian spirit kehidupan masyarakat modern.

Landasan teori yang ketiga, yaitu mengacu pada analisis Semiotika dan Logika. Kedua ilmu ini meyakini benar, bahwa bahasa atau konsep yang digunakan oleh seseorang merupakan cermin ekspresi, budaya atau nilai yang dianut oleh pengguna kata atau  masyarakat pendukungnya. Dengan kata lain, bahasa adalah kode budaya, bahasa adalah ekspresi nilai. Keanekaragam bahasa atau kode budaya ini menunjukkan adanya perbedaan nilai dan budaya yang dianutnya.

Hal ini memberikan sebuah penegasan bahwa Islam Indonesia memang cukup unik dan beragam. Kehidupan masyarakat Islam Indonesia merupakan tatanan kehdidupan yang berbeda dengan kehidupan masyarakat Islam yang lainnya. Bahkan, dalam keberbedaannya itu sendiri, kehidupan masyarakat Islam Indonesia mampu hidup berdampingan dalam keragamaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun