Belakangan, dunia jurnalisme sering menjadi topik penting di negeri ini. Bukan cuma karena kekuatannya yang luar biasa tapi karena jurnalisme (media pers) bisa meremuk-redamkan cara pandang satu bahkan jutaan orang di muka bumi ini. Bahkan, 'cubitan' media pers sering berdampak luas, seperti air bah, menyapu segala yang ada di sekelilingnya.
Barangkali, karena kekuatannya begitu besar, luas, dahsyat, dan sering melompat masuk ke wilayah pribadi, cenderung trial by the press, pers itu terlahir, kata orang, sebagai komunitas sombong, angkuh dan arogan. Benarkah begitu? Setidaknya, siapapun yang berkuasa, diberi kuasa lebih, atau menguasai mayoritas dari satu kekuatan, secara psikologi memberi ruang lebih terhadap sifat-sifat buruk di atas. Kecuali kesadaran beretika, religius basic komunitas ini tertempa baik dan perfek.
Tidak cuma pers, tentunya! Polisi, tentara, jaksa, komisi pemberantasan korupsi, parlemen, pemerintah (presiden, raja, perdana menteri, dan sebagainya) akan berperilaku sama jika mereka memiliki kuasa lebih tanpa pengontrol dan lupa dikontrol.
Suami, jika tak 'dikontrol' secara baik oleh istri, pun berpotensi serupa; ingin mendua dan 'serakah'. Para bandit apalagi! Jika mereka dibiarkan, tidak dikontrol dan tidak digebuk, maka hancurlah semua. Negeri ini bakal menjadi hunian para bandit. Menyeramkan, bukan?
Bicara pers adalah bicara komunitas (kelembagaan). Tak ada bedanya bila kita membicarakan komunitas lain. Dan ngerumpi soal komunitas, tentu, kita harus sepakat mengesampingkan 'kelakuan' perseorangan menjadi 'kelakuan' bersama. Karena orang bukan lembaga dan lembaga bukan pemandangan utuh pribadi seseorang.

Tapi, karena kuatnya cengkeraman tradisi amplop di dunia jurnalisme, barangkali sampai lebaran kuda pun persoalan amplop tak bakal bisa dihabisi. Sehingga suka atau tidak suka, profesi kita tak mungkin bisa dibersihkan dari yang namanya amplop meski idealisme dan profesionalisme adalah satu dari sekian cara untuk menangkal serangan amplop.
Amplop dan Cerita Konferensi
Satu hari, di ranah pergulatan konferensi propinsi (Konferprop) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aceh. Sejumlah wartawan mencari peruntungan bertarung berebut posisi “PWI-1” di Aceh. Tentu tak ada salahnya jika kami (jurnalis) 'berwisata' sejenak ke samping kanan, kiri, muka, belakang 'rumah besar' PWI dengan selembar cermin. Agar sama-sama kami bersihkan jika ada selokan air dan jambangan bunga yang kotor di sekitar rumah kami itu.
Bagi yang punya hak suara, waktu itu, kami pun saling mengingatkan agar menggunakan suaranya untuk memilih pemimpin yang sesuai hati nurani, bukan sesuai “wani piro”-nya. Begitu juga para kandidat. Bertarunglah secara fair dan bermartabat dengan program-program kunci untuk memajukan organisasi. Hindari menyerang privacy kandidat lain karena cara-cara itu cuma cara orang tak berkualitas dan berkemampuan rendah.
Punahkan ego merasa diri paling bersih untuk menjustifikasi yang lain “kotor”. Sebab, setiap orang, pasti, punya catatan “kotor” meski dalam kadar “kekotoran” yang berbeda. Dan terpenting, hindarilah ghibah karena seburuk-buruk manusia adalah dia yang suka menghujat temannya sendiri.
Dalam semangat berkonferensi saat itu, peserta diharapkan punya cara pandang sama bahwa semua kandidat adalah teman kami; saudara kami di 'rumah besar' PWI. Cukuplah sudah dunia pers kita 'dinistai' oleh oknum-oknum yang ingin menghidupkan medianya dengan cara memeras nara sumbernya. Sehingga tak salah jika fenomena usang ini, kemudian, diinskripsikan oleh para pakar bahasa sebagai 'wartawan amplop' seperti termaktub dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Balai Pustaka 2002; halaman 1269.
Lalu, pertanyaan jahil pun muncul: mengapa di KBBI cuma ada satu istilah amplop khusus untuk wartawan? Bukankah lembaga-lembaga lain seperti polisi, jaksa, hakim, tentara, pengacara, atau anggota parlemen tak luput dari 'kepungan' amplop? Seorang teman bertamsil, “Bro, suap yang diterima oknum polisi, jaksa, hakim, parlemen, atau oknum tentara, barangkali berskala besar, gak pakai amplop tapi pakai kardus. Kan, gak, mungkin ditulis di dalam KBBI istilah jaksa kardus, polisi kardus, parlemen kardus, atau tentara kardus. Benar, kan?”
Ciamik! Inilah rupanya kebenaran yang sulit kami terima kebenarannya. Terlalu pahit barangkali. Dan saya pun, waktu itu, hanya bisa menggeleng kepala sambil bilang: Selamat berkonferensi, teman! Kehebatanmu akan dibuktikan kala bertarung tanpa jamuan 'amplop' di sekelilingnya, apalagi 'kardus' yang tak mungkin sanggup kau suguhkan untuk teman-temanmu yang congok: terobsesi menguras lumbung demi sejengkal perut!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI