Mohon tunggu...
Moh ArifFerdiansyah
Moh ArifFerdiansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa

Tulisan adalah representasi nyata bahwa pikiran kita masih hidup

Selanjutnya

Tutup

Hukum

POLEMIK PERLUASAAN WEWENANG KEPOLISIAN DALAM RUU Polri

10 April 2025   14:50 Diperbarui: 10 April 2025   14:47 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perluasan kewenangan yang tercantum dalam Revisi Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia yang selanjutnya disebut (RUU Polri) terdapat beberapa pasal yang dianggap mengundang kontroversial dikalangan publik, dikarenakan disamping adanya perluasan kewenangan yang diberikan terhadap aparat Kepolisian Republik Indonesia dalam RUU POLRI tidak barengi dengan sistem pengawasan yang cukup.

Analisis pasal 16 Ayat (1) huruf q dalam RUU Polri

Berdasarkan amanat konstitusi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang selanjutnya disebut (UUD NRI 1945) pada Pasal 30 Ayat (4) pasca Amandemen ke-II mengamanatkan bahwa "kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia ialah sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum". Hingga kemudian diatur secara lebih lanjut melalui Peraturan Perundang-Undangan yang sifatnya lebih Lex Specialis dengan merujuk pada UU. No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia terkait dengan fungsi, tugas dan wewenangnya. 

Sehingga muncul informasi terbaru bahwa UU. A Quo mengalami proses revisian dan dibahas oleh DPR RI dan Pemerintah, namun mucul kontroversi di khalayak publik dengan dalih bahwa satu diantara beberapa pasal yang direvisi di dalam Revisi Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disebut (RUU Polri) tersebut, utamanya terkait dengan kewenangan Polri itu sendiri. Kiranya dikarenakan kewenangan yang tercantum dalam salah satu RUU Quo tepat pada Pasal 16 Ayat (1) huruf q yang menyatakan bahwa Kepolisian diberikan kewenangan untuk "melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, dan upaya perlambatan akses Ruang Siber untuk tujuan Keamanan Dalam Negeri berkoordinasi dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang komunikasi dan informatika dan/atau penyelenggara jasa telekomunikasi". Atinya penambahan kewenangan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah aparat Kepolisian dapat memberlakukan Internet Shutdown berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan dengan merujuk pada isi status pasal Quo sekarang.

Dilansir dari Tempo.co terkait dialog interaktif antara Presiden Republik Indonesia (Prabowo Subianto) dengan enam jurnalis hambalang di Jawa Barat pada Minggu, tanggal 7 April 2025. Salah seorang jurnalis (Najwa Shihab) itu kemudian bertanya terkait RUU Polri "apakah Bapak Prabowo Subianto setuju atas RUU Polri yang memberikan perluasan kewenangan bagi Polisi," dikutip dari Youtube Narasi TV, Selasa, 08 April 2025. Bahwa Prabowo Subianto percaya dengan sistem politik di Indonesia dimana semua Undang-Undang dibahas oleh berbagai partai politik yang duduk dikursi Parlemen Dewan Perwakiln Rakyat (DPR) yang tentunya sudah dipilih oleh rakyat. "tapi terimakasih masukan itu, saya akan memberikan perhatian lebih mulai sekarang, dengan mempelajari alinea demi alinea yang ada dalam RUU Quo" itu sendiri.

Kemudian pertanyaan yang sama kembali diulangi oleh Najwa Shihab dan jawaban yang sama pula dinyatakan oleh Prabowo Subianto bahwa beliau akan mempelajari draf RUU Polri tersebut. Sehingga beliau menambahkan bahwa "pada prinsipnya polisi harus diberikan wewenang yang cukup untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, akan tetapi kalau dirasa kewenangan itu sudah cukup, maka untuk apa ditambah?".

Akan tetapi terlepas dari pernyataan Presiden RI (Prabowo Subianto), ketika kita berangkat dari apa yang telah dikemukakan oleh Lord Acton Melalui Teori kekuasaan yang menyatakan bahwa "Power Tends To Corrupt, and Absolute Power Corrupt Absolutelly" pada dasarnya setiap manusia yang dihadapkan pada sebuah kekuasaan potensial untuk disalahgunakan, akan tetapi kekuasaan yang tidak dibatasi justru akan lebih cenderung untuk disalahgunakan. 

Sejatinya Aparat Kepolisian sudah memiliki kewenangan yang cukup dalam menjalankan tugasnya, misal dalam hal penyidikan dan penyelidikan Polisi sudah dijadikan Penyidik dan penyelidik utama dalam semua jenis tindak pidana ini tercantum jelas dalam UU. No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya disebut (KUHP) pada Pasal 1 Ayat (1) dan (4) yang diatur lebih lanjut oleh Peraturan Perundang-Undangan yang lain, juga seperti memberantas kriminalitas, penyelundupan Narkoba, melindungi masyarakat sipil dan lain sebagainya. Bukankah hal ini menunjukkan bahwa kewenangan yang dimiliki polisi sudah lebih dari cukup, kenapa harus mencari-cari penambahan atau perluasaan melalui kewenangan lain yang justru akan menimbulkan ketidak efektifitasan dalam menjalankan tugas dan fungsi utamanaya.

Pada dasarnya lebih daripada bentuk kekhawatiran yang lain, jika nantinya perluasan kewenangan yang dimaksudkan Pasal 16 Ayat (1) huruf q tidak dilakukan revisi kembali dalam pembahasan lebih lanjut oleh DPR dan Pemerintah atas RUU ini, maka bisa dipastikan sangat berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan (Overlapping) atau bahkan lebih jauh dari itu dapat meciptakan Penyalahgunaan kekuasaan (Abouse Of Power). Padahal dewasa ini jika berbicara terkait linkup siber sudah ada beberapa lembaga yang memang diberikan kewenangan khusus untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan di ruang siber, selain dikarenakan atas dasar berkompeten dibidangnya lembaga seperti Kementerian Komunikasi dan Digital (KEMENKOMDIGI) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN). 

Karena tidak ada sejarahnya ketika terjadi bentrokan dalam menjalankan sutau kewenangan oleh beberapa lembaga dalam satu kewenangan kecuali lahirnya konflik kepentingan (Conflict Of Interest). maka perlunya merekonstruksi kembali isi daripada pasal yang dimaksudkan dengan melalui dilaog publik yang lebih lengap dan komprehensif agar masyarakat juga mengetahu kearah mana kebijakan ini akan dibawakan. Hal ini pula sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Bapak Anis Rasyid Baswedan bahwa "ketika dalam pembentukan kebijakan tidak melalui dialog publik yang lengkap dan dialognya setelah menjadi Undang-Undang maka siapapun yang kritis akan dianggap oposisi dan siapapun yang pro dianggap pro pemerintah, mengapa demikian, karena tidak ada pembahasan yang komprehensif yang melibatkan keterlibatan publik didalamnya 

Oleh karenanya menjadi sangat perlu untuk benar-benar melakukan analisis dan pemahaman yang lebih mendalam terkait Pasal Quo. Agar pemaksudan daripada substantif dari Pasal Quo tidak salah diartikan dan dijadikan opini publik untuk hal-hal yang sifatnya propaganda. Akan tetapi kiranya pula perlu bagi pemerinath untuk memperhatikan asas Proporsionalitas, Integritas dan akuntabilitas dalam proses pembuatan kebijakan. Terlepas dari penambahan dan perluasaan kewenangan Polri di dalam RUU-nya saya tetap berorientasi pada Kementerian Komunikasi dan Digital (KEMENKOMDIGI) dan Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) yang pada dasarnya dua lembaga inilah yang memang memiliki potensial lebih berkompeten didalam ruang siber dan digitalisasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun