"Zakat bukan hanya rukun Islam, tetapi fondasi ekonomi Islam yang adil. Dalam zakat terkandung ruh solidaritas, distribusi kekayaan, dan pembebasan sosial." - KH. Sahal Mahfudz.
Zakat dalam Perspektif Ibadah Sosial
Zakat merupakan salah satu dari lima rukun Islam yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang telah memenuhi syarat. Tidak hanya sebagai ibadah individual antara hamba dan Tuhannya, zakat juga mengandung nilai sosial yang sangat kuat. Dalam QS. At-Taubah ayat 103, Allah Swt. berfirman:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ
Artinya: "Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka." (QS. At-Taubah: 103).
Ayat ini menegaskan bahwa zakat adalah sarana pembersih jiwa dan harta sekaligus bentuk redistribusi ekonomi yang bersifat struktural. Dalam konteks ini, zakat menjadi maqashid syariah yang menjamin keadilan ekonomi dan menanggulangi ketimpangan sosial.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menyebutkan bahwa zakat adalah bentuk penguatan ukhuwah umat dan mekanisme menjaga stabilitas sosial. Ia bukan hanya amal pribadi, tetapi sistem ekonomi yang membawa kemaslahatan publik.
Krisis Global dan Ketimpangan Sosial Dunia Islam
Kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh krisis bertubi-tubi: pandemi, konflik internasional, perubahan iklim, dan ketidakpastian ekonomi. Menurut laporan Oxfam International (2024), 1% populasi dunia menguasai lebih dari 45% kekayaan global, sementara separuh penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, tidak luput dari persoalan ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa per Maret 2024, jumlah penduduk miskin mencapai 25,8 juta jiwa. Di saat yang sama, potensi zakat nasional menurut Baznas diperkirakan mencapai Rp327 triliun per tahun, namun yang terhimpun baru sekitar Rp28 triliun.
Ini menjadi ironi sekaligus peluang. Artinya, zakat dapat menjadi alat transformasi sosial jika dikelola secara optimal.