Mohon tunggu...
Rizki Luthfiah Aziz
Rizki Luthfiah Aziz Mohon Tunggu... Aktor - An Observer and Participant of Life

Pengelana yang ingin mengarungi samudra kehidupan dan menyelami misteri alam

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wibawa SMAN 5 Bandung Melampaui Zonasi

9 Juli 2020   01:23 Diperbarui: 9 Juli 2020   13:04 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Deretan jendela di sudut kiri-bawah foto di atas adalah tempat saya duduk sebagai siswa kelas XII beberapa tahun silam. Masih segar betul di ingatan betapa saya sangat mengagumi desain bangunannya yang khas era kolonial Belanda dengan langit-langit yang sangat tinggi ketika pertama kali mendapatkan ruang kelas di bagian sekolah yang umum disebut sebagai 'bangunan tua' itu. 

Sebelumnya saat kami masih siswa kelas X hingga kelas XI ruang kelas yang digunakan terletak di bangunan tambahan yang berada persis di belakang bangunan tua. 

Bukan tanpa alasan bangunan tua yang menjadi wajah SMAN 5 & 3 Bandung itu dikenal luas oleh warga Jawa Barat sejak dahulu. Sedikit penelusuran mendatangkan informasi bahwa gedung tersebut memang sudah berdiri sebagai bangunan HBS yang mulai dioperasikan sekitar tahun 1916 oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Di pulau Jawa sudah ada beberapa HBS di kota-kota besar yang berusia lebih tua termasuk HBS di Batavia, Surabaya dan Semarang.

Siswa-siswi SMAN 5 Bandung tahu bahwa sekolahnya merupakan penerus trah HBS era kolonial meskipun tidak semua sadar apa yang membedakan HBS dengan sekolah lainnya di masa itu. Semua yang sempat membaca sejarah lembaga pendidikan di masa kolonial tentu tidak asing dengan cerita betapa sulitnya penduduk Hindia saat itu untuk dapat mengenyam pendidikan di HBS. Hanya Eropa totok dan bumiputera golongan ningrat atau priyayi yang dapat sekolah di HBS. Secara teknis saat pendaftaran para bumiputera benar-benar harus dapat menunjukkan dokumen yang membuktikan trahnya sebagai keturunan ningrat untuk dapat diterima.

Di masanya HBS merupakan sekolah dengan kurun waktu 5 tahun yang kurikulumnya kurang lebih setara dengan gabungan SMP dan SMA di masa kini. Bila kita membaca novel Bumi Manusia, karya mendiang Pramoedya, dapat terlihat bagaimana tokoh Minke selalu membanggakan statusnya sebagai siswa HBS meskipun kadang ia minder karena tidak terlahir sebagai seorang Eropa.

Entah apa kaitannya namun kebanggaan Minke yang menggebu masih terus ditemui pada diri setiap siswa-siswi SMAN 5 Bandung dari masa ke masa, setidaknya hingga masa sebelum aturan zonasi berlaku.

Mungkin karena satu kesamaan yang terjaga sejak 1916 HBS Bandung didirikan hingga menjadi SMAN 5: sama-sama sulit untuk bisa lolos menjadi siswa. Meski sejak dinasionalisasi oleh Republik syarat 'harus ningrat' dihapuskan namun dari masa ke masa SMAN 5 dikenal dengan standar seleksinya yang sangat ketat sekalipun metode penerimaan siswanya terus berganti wujud.

Entah itu seleksi internal yang diadakan oleh SMAN 5 seperti seleksi tes RSBI pada masa saya dulu, atau dengan standar NEM UN SMP yang mengaharuskan angka yang tinggi dan bisa juga dengan jalur prestasi yang begitu selektif. Tidak ada siswa-siswi yang dapat masuk tanpa melewati perjuangan, terutama perjuangan melawan kantuk dan lelah saat belajar di bimbel hinggal malam. Saya ingat betul ada kawan SMP yang sengaja daftar 3 bimbel dengan tujuan mendapat nilai UN tinggi agar dapat diterima di SMAN 5. 

Saat siswa-siswi SMAN 5 berkumpul ada satu hal yang sangat kentara di antara mereka: kebanggaan kolektif. 

Siswa-siswi SMAN 5 bukan remaja-remaja kaku yang hanya berfokus pada urusan akademik, meskipun ada juga yang seperti itu, namun keberagaman dalam mengasah potensi masing-masing membuat SMAN 5 seakan sudah lama bersahabat dengan prestasi. Baik itu secara akademik, olaharaga, seni dan kreativitas lainnya. 

Tentu di sekolah ini pun tidak semuanya rajin mengikuti kelas, ada saja yang kerap membolos dan bahkan lebih mengutamakan aktivitas ekskul. Unik memang karena ekskul adalah pembentuk identitas lanjutan bagi setiap siswa-siswi SMAN 5, ketika kami dinyatakan resmi menjadi bagian dari ekskul yang kami pilih dapat dikatakan kebanggaan semakin menjadi-jadi karena ada 'kebanggaan dalam kebanggaan', bangga menjadi siswa SMAN 5 dan bangga karena bukan sekedar menjadi siswa SMAN 5. 

Dari mulai yang tukang belajar, langganan ikut olimpiade, tukang nyanyi, tukang ngartis,  tukang ribut dan lainnya, ada satu kesamaan di antara mereka: sama-sama bangga menjadi siswa-siswi SMAN 5. Ketika siswa lain sering menutup seragamnya dengan jaket saat main di luar sekolah, teman-teman saya justru pernah memarahi saya karena menggunakan jaket. 

"Biar keliatan tulisan sekolahnya", kata mereka. 

Ketika siswa lain enggan menggunakan pin dan sabuk yang menunjukkan logo sekolah mereka, salah satu barang yang paling laku di koperasi sekolah adalah pin dan sabuk sekolah. Hampir semua siswa-siswi tetap mengenakan atribut lengkap saat main sepulang sekolah. 

Pakaian seragam yang tidak dimasukkan dengan rapih ke dalam celana adalah kehinaan bagi sebagian dari kami karena itu dianggap bentuk ketidakhormatan pada lambang besar sekolah bergambar burung hantu yang terletak di sabuk yang semestinya terlihat jelas setiap kali kami berjalan.

Itulah sekolah kami, penerus trah HBS yang dulu untuk lolos seleksi harus bergantung pada silsilah keluarga. Namun kini untuk lolos seleksi justru mengutamakan kedekatan jarak tempat tinggal. Padahal kawan saya ada yang dari berbagai kota dan kabupaten di Jawa Barat dan sengaja mencari kostan karena keharuman nama sekolah kami sudah sejak lama tercium hingga ke daerahnya. Lalu ada juga kawan saya yang tinggal di Cimahi dan harus berangkat dari rumah pagi-pagi buta setiap kali pergi sekolah. 

Jadi, seakan lelucon bila kami waktu itu membayangkan bahwa lokasi tempat tinggal bisa menjadi nilai plus untuk lolos diterima di sekolah ini.

Maka tidak heran bila saya ingat betul suasana ketika hari pertama mengenakan seragam SMAN 5 dan mampir ke SMP sepulang sekolah, saya dan kawan SMP yang juga lolos di SMAN 5 dititipi pesan oleh salah satu guru SMP kami yang berkata, 

"selamat ya kalian masuk SMAN 5, yang bangga ga cuma kalian tapi juga sekolah. Sekarang kalian jaga nama baik SMP karena kalian di sana sekaligus mewakili SMP ini, jangan sombong dan tetap istiqamah".

Semoga saja di masa penerimaan siswa berdasarkan zonasi ini tidak mengurangi kualitas dan kewibawaan SMAN 5 Bandung tercinta, karena bila demikian yang kecewa tidak hanya kami para alumni di masa modern tapi juga para Meneer dan Mevrouw alumni dan pengajar HBS Bandoeng yang sudah melewati sejarah yang sangat panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun