Mohon tunggu...
Mohammad ridwan
Mohammad ridwan Mohon Tunggu... Buruh - Buruh

Happiness only real when shared

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jiwa-jiwa yang Disandera Kota

20 Oktober 2022   21:39 Diperbarui: 21 Oktober 2022   00:59 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi : https://mediaindonesia.com

Sore itu langit begitu merah untuk menyambutku keluar dari tempat kerja. Aku berjalan menuju halte tempat pemberhentian bus yang terelatak 500 meter dari tempat kerjaku.  Banyak hiruk-pikuk manusia dengan wajah sumringah karena tidak sabar untuk bertemu keluarganya dirumah.


Sesampainya di halte, aku hanya berdiri terdiam sembari melihat ramainya kendaraan dan berfikir tentang makanan apa yang harus kumakan jika sampai di kosan nanti.
Ketika mataku terlalu sibuk oleh kendaraan yang berlalu lalang, tiba-tiba aku merasakan ada yang menarik pelan celanaku.


Saat kulihat, tampak dua anak kecil berdiri dengan pakaian kusam. Sepertinya mereka bersaudara karena memiliki mata yang mirip. Anak perempuan dengan umur sekitar 12 tahun, yang satunya adalah laki-laki dengan kisaran usia 8 tahun.
"Kasihani kami om, kami belum makan sama sekali dari kemarin" kata anak perempuan itu dengan membawa gelas bekas air mineral.
Si anak laki-laki hanya menatapku dan menunjukkan wajah memelas, oh bukan memelas, itu adalah rasa lapar terekspresikan dari raut wajahnya.


 Aku masih terdiam dengan menatap mereka. Pikirku apakah akan kukasih uang, atau kuajak mereka makan di sebuah warung makan. Karena aku sunggung bingung melihat ekspresi wajah mereka.


Di saat otakku masih berfikir, tanpa kusadari mereka telah berjalan menjauh dariku sekitar 5 meter. Kemudian aku tersadar dan menatap mereka yang membelakangiku, si kecil menggandeng tangan si anak perempuan dengan erat. Seketika aku lasung berlari menghampiri mereka.


"Dek, ayo ikut denganku, di dekat pertigaan besar itu ada warung nasi padang yang enak" kataku.
Setelah mendengar ucapanku mereka berdua saling menatap mata, seolah sedang berunding. 

 
Setelah beberapa saat si anak perempuan mengangguk, diikuti anggukan dari kepala anak laki-laki. Kami pun berjalan menuju warung nasi padang di dekat pertigaan yang kumaksud tadi, mungkin jaraknya sekitar 300 meter dari halte pemberhentian bus.


Setelah sampai aku memilih meja dan mempersilahkan mereka duduk.  Kupesan makanan dengan lauk rendang untuk 3 porsi.


Sembari menunggu makanan tiba aku mulai mengajak mereka berbicara.  Hingga aku pun tahu nama mereka adalah Anis dan Andi, dan benar dugaanku mereka adalah saudara kandung. Dua anak kecil ini adalah pengamen di jalanan kota ini, mereka tak punya alat musik, hanya bermodal tepukan tangan dan suara, itu karena mereka sama sekali tidak bisa memainkan alat musik apapun. Mereka hanya tinggal dengan ibunya di daerah yang jauh dari kantorku. Menurut penuturan mereka, ibunya sedang sakit dan tidak bisa berdiri. Sungguh takdir yang pahit untuk ditelan oleh anak seusia mereka berdua.


Jika anak seusia mereka yang lain sedang bersekolah dan bermain dengan anak sebayanya, mereka hanya bisa berjuang untuk terus bertahan hidup dengan bergelut melawan debu jalanan setiap harinya.


" Apakah kalian tidak mendapat uang sama sekali dari kemarin? Kenapa kalian sampai tidak bisa makan dari kemarin?"  Ini adalah pertanyaanku yang tidak bisa di jawab oleh mereka.
Mereka hanya saling perang pandang saat kuajukan pertanyaan itu, tanpa ada jawaban yang keluar dari mulut kedua anak ini. Namun situasi hening itu terpecahkan setelah ibu penjual nasi padang itu datang ke meja kami dengan membawa pesanan.


 Mata mereka bersinar menyaksikan makanan yang disuguhkan oleh ibu penjual itu, setitik senyum keluar dari raut wajah mereka. Tanpa menunggu waktu lama, aku pun lasung menyuruh mereka untuk memakannya.


"Hmmm Enak sekali kak"  kata si adik dengan memandang mata kakaknya. Kakaknya hanya tersenyum dan mengangguk, namun ada situasi yang aneh bagiku.


Saat mereka dengan lahap melahap makanan itu, aku melihat butiran air terus menetes dari mata mereka. Iyah mereka menangis. Entah perasaan apa yang menafsirkan derai airmata  mereka. Aku juga enggan bertanya, karena aku tidak mau mengganggu mereka yang sedang lahap menyantap makanannya. Aku pun juga melanjutkan menyantap makananku.


Setelah selesai makan, aku memesan 1 lagi untuk dibungkus agar diberikan kepada ibu kedua anak ini yang sedang sakit.
Setelah semua selesai dan aku sudah membayarnya, kami bertiga keluar dari warung padang dan kembali berjalan ke halte bus.  

Ditengah perjalanan memuju halte tiba-tiba anak perempuan memegang jari tanganku.
"Om tolong kami" ucapnya.
Aku pun mengangguk, aku berfikir mereka butuh uang untuk hidup mereka dan ibunya, jadi aku menganggukkan kepala dan setuju untuk memberi mereka sejumlah uang.
" Ini untuk kalian, semoga dengan ini kalian bisa cukup untuk hidup selama seminggu kedepan" jawabku sambil memberikan uang sebanyak 400 ribu, karena pada saat itu hanya uang itu yang ada di dompetku, yang lainnya masih di ATM semua.


Saat kuberi uang mereka hanya mengangguk dan berterima kasih. Sebenarnya aku masih melihat kecemasan dari raut wajah mereka berdua, namun aku berfikir itu bukan apa-apa, karena aku sudah memberinya sejumlah uang.
Kami bertiga lanjut berjalan menuju halte. Sesampainya di halte mereka berdua memilih menemaniku hingga bus yang akan kunaiki tiba .
"Om terimakasih untuk uang dan makanannya, kami tidak tahu harus seperti apa untuk membalasnya" ucap si anak perempuan.
Aku pun tersenyum sembari menjawab " iya sama-sama, kalian tidak perlu melakukan apapun, teruslah hidup dengan keringat kalian sendiri, karena suatu saat nanti Om yakin bahwa kalian akan tumbuh menjadi orang yang kuat, oh iya ada satu yang harus kalian lakukan, tolong nyanyikan sebuah lagu untuk Om".
Mereka berdua tampak tersenyum dan kembali beradu pandang, kemudian si Kakak bernyanyi dengan diikuti si Adek.  Lagu yang dinyanyikan adalah lagu Peterpan yang berjudul Bintang Di Surga.
Mereka pun bernyanyi dengan banyak yang salah pada liriknya, namun hal itu kujadikan candaan dan membuat kami bertiga tertawa riang. Sebenarnya aku sangat terhibur oleh mereka berdua.


Kami terus bernyanyi dan tertawa bersama untuk beberapa lagu. Hingga akhirnya bus yang kutunggu tiba, sebelum bus itu benar-benar terhenti di hadapanku aku pun berkata pada mereka
"Om bekerja di kantor seberang jalan itu, jika ada apa-apa datanglah ke kantor, dan bilang kepada security untuk bertemu Om Danang"  ucapku sambil menunjuk kantor tempatku berkerja.
Mereka hanya mengangguk dengan senyum yang menyala pada bibirnya. Hal itu pun membuat aku lega.


Bus telah berhenti di hadapanku dan aku pun menaikinya, mereka melambaikan tangan kepadaku  diiringi dengan senyumnya yang indah sebagai tanda perpisahan. Aku juga membalas melambaikan tanganku dan bus pun mulai berjalan.


Setelah bus berjalan sekitar 100 meter aku pun berbalik untuk memandang mereka dari dalam bus. Dan yang kulihat adalah sesosok pria dewasa berbadan kekar manarik paksa tangan mereka, kulihat merekapun menangis dan ketakutan. Aku terkejut melihat kejadian itu.

 Aku berteriak agar bus berhenti sekarang juga, namun bus tidak bisa lasung berhenti mendadak karena situsi jalan raya yang ramai. Jika bus berhenti mendadak, bisa menyebabkan kecelakan beruntun. Bus yang kunaiki mulai mengurangi kecepatannya hingga akhirnya berhenti.
Setelah bus berhenti aku pun lasung turun dan berlari ke arah halte, namun sudah mereka sudah tidak ada lagi.


Aku panik dan bingung, kemana mereka pergi?, Jika mereka berlari atau berjalan kaki harusnya aku masih bisa mengejarnya, namun sama sekali tak ada wujud mereka di pandanganku.
Apakah mereka diculik dengan mobil?,  Atau dengan kendaraan lainnya?, Apakah mereka akan dijual?, Pikiranku benar kacau saat itu. Aku pun terus mondar mandir selama 1 jam di sekitar halte ,namun mereka sama sekali tak terlihat lagi.


Aku pun memutuskan untuk pulang dan beristirahat dengan menaiki bus selanjutnya, aku berharap mereka akan datang ke kantorku dan mencariku.
Lampu-lampu jalanan mengiringiku dalam perjalanan pulang didalam bus. Pikiranku terus memutar kembali bayang-bayang Anis dan Andi, dari mulai senyum, tawa hingga tangis mereka.
 

Setelah seminggu berlalu aku terus bekerja dan berharap agar mereka datang menemuiku di kantor, setiap  jam istirahat dan pulang kerja aku terus bertanya kepada security di kantorku apakah ada dua anak kecil yang datang mencariku. Namun kata Pak Salman (security kantorku) sama sekali tidak ada dua anak kecil yang mencariku.


"Sebenarnya kedua anak kecil itu siapa to Mas Danang?" Tanya pak Salman penasaran, karena selama seminggu ini aku selalu bertanya perihal anak kecil kepadanya.
Kemudian aku pun bercerita semua tentang anis dan Andi kepada pak Salman.


" Begini Mas Danang, di kota besar seperti ini banyak hal yang dilakukan manusia agar mendapatkan uang, termasuk memperkerjakan anak kecil untuk mengamen dan mengemis, biasanya mereka diantar menggunakan mobil pagi hari dan dijemput sore hari" Ujar Pak Salman.


"Bukanya mereka bisa kabur ketika dilepas di jalanan seperti ini pak?" Tanyaku kembali


" Mereka tidak punya kesempatan untuk itu mas  Danang,  biasanya ada yang ditahan sebagai jaminan mereka, seperti anggota keluarga yang lain atau barang berharga mereka, atau bisa juga orang tua mereka memiliki hutang kepada preman-preman itu, karena tidak sanggup membayarnya kebanyakan dari mereka akan kabur, sehingga  anak- anak itu disuruh mengamen dan mengemis untuk membayar hutang orang tuanya oleh preman-preman itu" jelas Pak Salman .


Mendengar jawaban Pak Salman aku pun kembali teringat ucapan Anis yang meminta tolong kepadaku, apakah ini yang dimaksud kata "tolong" itu?


"Sudahlah Mas Danang, tak usah terlalu difikirkan, ada ratusan bahkan ribuan yang anak yang bernasib seperti itu, jika kita hanya tergerak karena iba, berilah mereka uang secukupnya, dan jangan sekali-kali ikut campur urusan mereka, karena itu bukan wewenang Mas Danang, jika terlalu ikut campur itu akan membahayakan Mas Danang juga, ya sudah mas danang sekarang fokus bekerja aja, nanti jika suatu saat kedua anak itu datang kesini pasti akan saya kabari Mas Danang" ucap Pak Salman memecah lamunanku.


Aku pun bingung karena sudah tidak ada lagi yang bisa kulakukan, sambil memandang langit aku berharap kuat dalam hatiku, semoga Anis dan Andi tidak apa-apa, karena aku sangat yakin bahwa mereka akan tumbuh sebagai manusia yang kuat ketika besar nanti, mengingat cobaan mereka begitu berat sejak kecil.


Teruslah hidup, dan lewati semua takdir bengis ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun