Lebih jauh, kerangka kebijakan yang mengatur akreditasi dan sertifikasi mutu institusi pendidikan tinggi sering kali bersifat seragam (one-size-fits-all), tanpa mempertimbangkan perbedaan mendasar antara PTN dan PTS dalam hal sumber daya, status hukum, serta kapasitas kelembagaan. Misalnya, indikator penilaian akreditasi seperti rasio dosen tetap bergelar doktor, jumlah publikasi internasional bereputasi, dan kemampuan menjalin kemitraan riset global, adalah indikator yang berbasis pada logika kelembagaan PTN yang disokong anggaran negara dan jaringan riset mapan. Ketika indikator tersebut diberlakukan secara absolut kepada PTS yang beroperasi dalam keterbatasan, maka tidak hanya terjadi distorsi dalam penilaian mutu, tetapi juga pengkerdilan potensi lokal dan keunikan model pendidikan yang selama ini dikembangkan oleh PTS.
Akibatnya, banyak PTS mengalami stagnasi akreditasi, yang pada gilirannya menghambat partisipasi mereka dalam program-program nasional, kerja sama internasional, dan penerimaan mahasiswa baru. Dalam beberapa kasus, akreditasi yang rendah justru memperkuat persepsi negatif masyarakat terhadap mutu institusi, sehingga menciptakan siklus eksklusi dan marginalisasi institusional yang sulit diputus tanpa intervensi afirmatif dari negara.
Oleh karena itu, diperlukan reformulasi paradigma kebijakan mutu pendidikan tinggi yang lebih kontekstual, diferensiatif, dan berbasis kesetaraan kelembagaan. PTS tidak boleh terus-menerus diukur dengan standar yang tidak memperhitungkan realitas operasional mereka. Justru melalui pendekatan yang berbasis kekuatan lokal, inovasi pedagogis, dan fleksibilitas kelembagaan, PTS dapat menjadi mitra strategis dalam membangun sistem pendidikan tinggi yang inklusif, beragam, dan tangguh dalam menghadapi tantangan global.
Arah Kebijakan Afirmasi dan Rekomendasi Strategis
Menimbang peran vital yang selama ini dijalankan oleh Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dalam memperluas akses pendidikan tinggi secara merata dan inklusif, sudah saatnya negara melakukan reposisi paradigma kebijakan pendidikan tinggi dengan memberikan afirmasi yang lebih konkret, sistematis, dan berkelanjutan kepada PTS. Dalam kerangka sistem pendidikan nasional yang demokratis dan berkeadilan, keberadaan PTS tidak dapat lagi dipandang sebagai pelengkap dari institusi negeri, melainkan sebagai mitra strategis yang turut memikul tanggung jawab mencerdaskan kehidupan bangsa.
Guna merealisasikan kesetaraan kelembagaan dan mendorong optimalisasi peran PTS dalam pembangunan sumber daya manusia, berikut beberapa arah kebijakan yang perlu dipertimbangkan:
Penyediaan Dana Bantuan Operasional Khusus bagi PTS, dengan skema berbasis kinerja dan akreditasi minimum, guna menjamin keberlangsungan layanan pendidikan, khususnya di wilayah yang tidak terjangkau PTN. Skema ini perlu diarahkan untuk mendukung pembiayaan dasar institusi, penguatan kapasitas dosen, serta perawatan sarana dan prasarana pembelajaran.
Reformulasi sistem akreditasi dan evaluasi mutu, agar lebih kontekstual, inklusif, dan adaptif terhadap keragaman karakteristik kelembagaan PTS. Evaluasi mutu tidak semestinya semata-mata berbasis pada standar PTN yang disubsidi negara, tetapi perlu mengakomodasi indikator yang mencerminkan inovasi lokal, dampak sosial, dan relevansi program studi terhadap kebutuhan daerah.
Pemerataan akses terhadap program-program nasional, seperti beasiswa KIP Kuliah, hibah riset kompetitif, dan pendanaan Merdeka Belajar--Kampus Merdeka (MBKM), dengan alokasi kuota khusus bagi PTS. Kebijakan ini penting agar PTS tidak tertinggal dalam mengikuti transformasi sistem pendidikan tinggi yang semakin digital, kolaboratif, dan berbasis capaian.
Fasilitasi kemitraan antara PTS dengan dunia industri dan pemerintah daerah, untuk mendorong pengembangan program studi yang sesuai dengan kebutuhan pasar kerja lokal dan potensi ekonomi wilayah. Pola penguatan link and match ini akan meningkatkan relevansi kurikulum, kualitas lulusan, serta peluang kerja alumni.
Penguatan ekosistem kolaboratif antara PTN dan PTS, melalui pembentukan konsorsium riset, pertukaran dosen, dan penyelenggaraan program-program akademik bersama. Pendekatan kolaboratif ini tidak hanya akan memperkuat solidaritas antar-lembaga pendidikan, tetapi juga membuka ruang pertumbuhan bersama yang lebih inklusif dan setara.