Mohon tunggu...
Mohamad Asrori Mulky
Mohamad Asrori Mulky Mohon Tunggu... Dosen - Penyintas di Jalan Ilmu

Penyintas di Jalan Ilmu, Pernah Nyantri di PonPes Subulussalam, Kresek, Banten dan Pondok Tahfidz Daarul Qur'an, Cikalahang Dukupuntang, Cirebon.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ben Anderson yang Saya Pahami

23 Juni 2021   06:25 Diperbarui: 23 Juni 2021   07:31 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ben Anderson justru mengonsepsikan hal itu dengan sebaliknya. Menurutnya, sebuah bangsa adalah komunitas yang dikonstruksi secara sosial, dibayangkan oleh orang-orang yang memandang dirinya sebagai bagian dari kelompok tersebut meski sama sekali tidak pernah bertemu satu sama lain.

Atas dasar itulah, Imagined Communities berangkat dari pertanyaan mengapa orang yang tidak saling mengenal bisa terikat dalam satu perasaan bahwa mereka adalah bagian dari sebuah komunitas yang disebut bangsa? Apa yang membuat mereka merasa senasib dan sepenanggungan sebagai bangsa hingga harus rela berkorban? Mengapa orang mau mati untuk sebuah bangsa, untuk sebuah konsep yang abstrak, untuk anggota-anggota yang tidak dikenalnya? 

Pertanyaan-pertanyaan fundamental inilah yang kemudian dijawab oleh Ben Anderson sebagaimana diuraikan dalam bukunya itu secara baik dan gamblang. Ben Anderson mengatakan, nasionalisme telah mampu mengikat satu sama lain sebagai bangsa. Perbedaan warna kulit, bahasa, suku, agama, budaya, bisa dipersatukan di bawah kendali nasionalisme.

Dalam penjelasannya lebih lanjut, Ben Anderson menelusuri sejarah munculnya nasionalisme di dunia. Dia menemukan bahwa kehadiran nasionalisme itu banyak berkaitan dengan kemunculan kapitalisme media cetak (print-capitalism). Hadirnya surat kabar dan buku-buku telah membawa perubahan yang cukup signifikan, terutama terhadap perubahan mental yang amat mendasar dalam sebuah masyarakat. 

Kapitalisme media cetak dengan sendirinya akan melayani pembacanya dalam bahasa-bahasa lokal (vernaculars) juga. Sehingga orang yang berada di suatu tempat paling ujung bisa membayangkan (imagined) dan merasakan tentang nasib dan masa depan bangsanya, tanpa harus mengenal dan saling bertemu satu sama lain. Di sinilah kecerdasan Ben Anderson yang jeli melihat persoalan.

Menurut Ben Anderson, Kapitalisme dalam Media Cetak telah mempengaruhi suatu pemikiran. Apa yang ditulis dan disampaikan dalam media cetak seperti koran, majalah dan juga buku lambat laun akan membentuk pola pikir masyarakat. Media cetak memungkinkan banyak orang untuk berpikir tentang diri mereka sendiri, dan menghubungkan diri mereka dengan orang lain dengan cara yang sangat baru. Migrasi massal juga memiliki pengaruh tersendiri dalam menumbuhkan nasionalisme. 

Dengan adanya print-capitalism (kapitalisme cetak), satu orang dapat terhubung dengan yang lainnya karna membaca tulisan yang sama sehingga muncul-lah nasionalisme yang sama satu dan yang lain. Karena itu, peran buku teks terutama buku sejarah dalam menyebarkan kesadaran nasional Indonesia tidak hanya terbatas pada penyebaran sejarah Indonesia saja, namun juga pada penyebaran ideologis dan nilai-nilai perjuangan yang ada di dalam buku. Tidak sedikit pemikiran pembaca terbentuk setelah melalui proses membaca yang intens.

Menurut Ben Anderson, bangsa tidak hanya diartikan sekedar kesamaan akar sejarah. Tetapi pemahaman bangsa, bagi Ben Anderson, mempunyai pengertian yang dinamis.Imajinasi atau bayangan menurutnya adalah suatu bahan yang merajut ikatan emosional dan solidaritas antar pendukung bangsa, meskipun antara satu dan yang lain belum tentu saling mengenal. Dan memang itulah inti kekuatan bangsa di mata Ben Anderson. Menurutnya bangsa sanggup menyatukan berbagai diaspora partisan-partisan bangsa yang ada dibelahan bumi yang lain, serta terpisah untuk menjadi satu ikatan kekuatan yang solid dan penuh solidaritas.

Revolusi Pemuda dan Cornell Paper

Rasanya kurang pas membahas Ben Anderson tanpa menyinggung pandangannya mengenai revolusi pemuda dan Cornell Paper. Pada bagian terdahulu, sepintas saya sudah mengulas mengenai revolusi pemuda yang digerakan oleh golongan muda atau kaum muda. Pandangannya itu merupakan anti-tesa dari kesimpulan guru Ben Anderson, George Kahin, yang berkesimpulan bahwa revolusi Indonesia digerakan oleh kaum elite atau golongan tua seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus Salim, dll.

Kesimpulan Ben Anderson itu tentu bukan tanpa dasar yang memadai. Sebagai ilmuan politik dan sosial yang lebih cenderung dekat dengan kaum marjinal atau under-dog (kaum lemah atau kalah), kategori pemuda tidak didasarkan pada kelas sosial seperti yang dikemukakan kaum maxian seperti George Kahin. Ben Anderson tentu tidak setuju dengan kategorisasi seperti itu. Menurutnya, kaum muda bukanlah kategori kelas dalam masyarakat. Dia lebih memasukan pemuda sebagai kategori sosiologis yang menjadi kekuatan penggerak revolusi, yaitu golongan pemuda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun