Mohon tunggu...
Mohamad Asrori Mulky
Mohamad Asrori Mulky Mohon Tunggu... Dosen - Penyintas di Jalan Ilmu

Penyintas di Jalan Ilmu, Pernah Nyantri di PonPes Subulussalam, Kresek, Banten dan Pondok Tahfidz Daarul Qur'an, Cikalahang Dukupuntang, Cirebon.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ben Anderson yang Saya Pahami

23 Juni 2021   06:25 Diperbarui: 23 Juni 2021   07:31 673
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Saya tidak mengenal Benedict Richard O'Gorman Anderson (selanjutnya ditulis Ben Anderson) secara pribadi. Saya bukan mahasiswanya, juga bukan sahabatnya, apalagi punya keterikatan kerabat dengan dirinya. 

Jangankan bertemu langsung tatap muka---entah dalam sebuah diskusi ilmiah, atau sengaja bersua untuk berbagi cerita tentang satu dan lain hal mengenai persoalan bangsa dan nasionalisme, revolusi pemuda dan kelas tertindas, atau berkenaan Imagined Communities (Komunitas-Komunitas yang Terbayang), buah pena yang melambungkan namanya di banyak belahan dunia---melihatnya saja meski dari kejauhan saya belum pernah. 

Tetapi hal itu tidak menyurutkan niat saya untuk mengenalnya lebih dalam---pikiran-pikirannya---walau ruang dan waktu sudah terlampau berbeda, sebab dia sudah wafat pada 13 Desember 2015 lalu.

Saya mengenal Ben Anderson justru setelah melalui proses membaca sejumlah artikel, esai, jurnal dan beberapa buku yang saya pinjam dari perpustakaan UIN Jakarta atau koleksi pribadi. Dalam beberapa kesempatan, forum-forum kajian yang saya ikuti yang mengulas pikiran-pikiran Ben Anderson, juga ikut memperdalam pengenalan saya kepada sosok yang satu ini. 

Hanya dengan melalui cara-cara seperti itulah akhirnya saya sedikit bisa memahami dan membayangkan pria yang pernah dicekal Orde Baru (orba) Soeharto ini; baik mengenai pribadinya yang ramah dan bersahabat kepada masyarakat Indonesia, keberpihakannya pada kaum marjinal dan kelas tertindas, karya-karyanya yang menginspirasi, maupun pikiran-pikirannya yang masih memiliki daya tarik dan selalu hangat diperbincangkan hingga kini.

Ibarat sebuah hikmah yang bisa kita petik dari mana saja, tak peduli asalnya, tak mengapa siapa penyampainya, selama isinya baik dan positif, tidak masalah kita ambil untuk bekal.  Begitu pun halnya dengan tokoh yang kita bicarakan ini. Dia lahir di Kunming, Cina, pada 1936, tumbuh besar di Irlandia, Inggris dan Amerika Serikat. Asal usulnya sama sekali tak terkait dengan Indonesia. 

Namun kehadirannya di negeri ini merupakan berkah dan anugerah yang sulit dibantah. Hampir sebagian besar hidupnya diabdikan untuk mempelajari rumah besar Indonesia: baik budayanya, masyarakatnya, perilaku elitenya, sistem politiknya, dan yang lainnya. Bahkan secara khusus dia juga membahas kekuasaan dalam perspektif Jawa, di mana seorang raja (presiden), menurutnya, harus terus menerus mencari tuntunan Tuhan di dalam batin saat memerintah atau berkuasa. Sehingga dengan begitu seorang raja harus memiliki sifat wicaksana (wisdom) dan mampu mendistribuskan keadilan pada rakyatnya tanpa tebang pilih.

Sebagai seorang ilmuwan politik yang disegani, pengaruh Ben Anderson justru tidak hanya dirasakan di bidangnya. Karya-karyanya dibaca oleh mereka yang belajar antropologi, sejarah, kritik sastra, sosiologi, dan kajian kebudayaan. Karena itu mereka yang menekuni studi ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan di Indonesia, sosok yang satu ini tidak boleh luput untuk dipelajari. 

Dia mesti selalu dilibatkan dalam banyak diskursus, terutama menganai kebangsaan, nasionalisme dan kebudayaan. Pandangannya mengenai revolusi pemuda memberi alternatif lain sekaligus bantahan terhadap tesis gurunya, George Kahin, yang menulis 'Nationalism and Revolution in Indonesia'. 

Dalam karyanya itu, Kahin mengupas dinamika revolusi di Indonesia hanya di kalangan elite-elite politik semata, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dll. Sementara menurut sang murid, Ben Anderson, pergerakan revolusi di Indonesia justru digerakan oleh golongan pemuda yang direpresentasikan salah satunya oleh Sukarni Kartodiwirjo, sosok yang punya peran penting di balik sejarah proses pembacaan teks proklamasi. Atas jasanya itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyematkan gelar Pahlawan Nasional Indonesia pada 7 November 2014.

Dalam lingkup yang agak lebih luas, terutama terkait kajian Asia Tenggara, posisi Ben Anderson terbilang istimewa dan penting. Seperti tidak cukup puas dengan mengkaji Indonesia berikut pernak pernik kebudayaannya dan segala aspek yang terkait dengan negeri ini, dia juga mengarahkan penelitiannya pada dua negara lain: Thailand dan Filipina. Fokus penelitian pada kedua negara itu dia lakukan saat dilarang masuk Indonesia oleh rezim kejam Soeharto karena menulis Cornell Paper yang dianggap menyudutkan rezim berkuasa dan Angkatan Darat dalam tragedi berdarah G30 September 1965. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun