Mohon tunggu...
Mohamad Tamrin
Mohamad Tamrin Mohon Tunggu... Dosen - Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Writer | Storyteller and Traveller | Data Analyst

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Meninggalkan Eindhoven Menuju Amsterdam

2 November 2021   19:06 Diperbarui: 2 November 2021   19:56 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana menjelang magrib di Desa Kinderdijk, Belanda. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin

Dari Heuval Eindhoven saya berjalan menuju jalan Tramstraat, di pertigaan belok ke kanan melintasi Broekmans hoveniers menuju Antonie van Hemertstraat. Terus melangkah dengan pelan melewati deretan pohon di sekitar Dommelstraat.

Di Inkijkmuseum saya berhenti sejenak, melihat-lihat bangunan tua berbentuk kerucut berwarna putih. Ada kursi terbuat dari kayu dan di depannya ada pohon Pilow begitu lebat dengan fragmen warna kuning cukup terang.

Bisa kau bayangkan, di langit ada warna merah tembaga menyala dengan gugusan awan menggantung rendah. Selain deretan pohon, juga ada tiang-tiang lampu menyambut. Begitulah perjalanan sore itu. Eindhoven serupa titik dan Amsterdam yang menjadi kota tujuan perjalanan adalah garis panjangnya. Setidaknya satu minggu saya akan tinggal di sana.

Setelah menghabiskan cukup waktu di Bavaria, saya harus kembali ke stasiun pusat tempat bus menunggu. Hanya saja memilih rute yang sedikit jauh dengan berjalan kaki melewati kanal Dommel.

Tembok dengan bata warna merah tua, memantulkan bias langit, melesatkan cahaya mega-mega, adakah kau lihat ada warna dengan fragmen yang sama di sana. Saya berdiri depan tiang yang menancap dekat papan pengumuman. Matahari meskipun ia hendak meninggalkan perjalanan harinya di kota ini, menuju terang sekaligus terik di belahan bumi lain. Hanya saja laskap kota yang dinaungi sebelum pamit adalah satu cerita yang lain pula.

***

Flixbus berwarna hijau sedang menunggu di jalan Jhon F Kennedylaan sebelah taman Flying Pins. Bus tujuan Amsterdam itu sebentar lagi akan membuat lampau kota Eindhoven, melesat meninggalkan cerita Bavaria, pun Heuval.

Sekitar taman Flying Pins jalan Jhon F Kennedylaan kota Eindhoven. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin
Sekitar taman Flying Pins jalan Jhon F Kennedylaan kota Eindhoven. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin

Setelah dari Inkijkmuseum dengan perasaan lelah saya menunggu di simpang jalan. Duduk sejenak, lantas melihat rute perjalanan dan memperkirakan estimasi waktu hingga tiba di Amsterdam nantinya.

Saya duduk di deretan kursi ke dua dari depan, lurus dengan posisi sopir. Sebelah jendela. Ketika bus itu berangkat meninggalkan kota Eindhoven, perasaan lelah seperti terbayarkan. Perjalanan panjang penuh cerita. Ada satu cerita yang sebetulnya belum saya ceritakan, ketika saya baru tiba di Bandara Eindhoven.

Cerita lucu sekaligus membuat gelisah. Saya hanya membawa uang cash sementara mesin tempat pemesanan tiket menuju staisun utama harus menggunakan kartu. Saya seperti induk kucing kehilangan anak. Beragam cara saya lakukan. Sedang bus angkutan bandara sebentar lagi berangkat.

Melihat saya ke sana kemari, bertanya ke beberapa loket pelayanan bandara. Ada seorang yang baru saja tiba dari Jerman. Dia orang arab pendatang, migran. Orang itu membantu saya dengan cepat, membelikan tiket menuju stasiun. Saya mau ganti tapi dia menolak sembari melepas senyum dan berucap, "selamat berlibur saudara." Sebelum berpisah, dia menyebut dirinya dari Lebanon, tanah kelahiran sang penyair 'sayap-sayap patah', Kahlil Gibran.

Apa dikata, setiap perjalanan memiliki takdirnya masing-masing. Baru datang sudah ada cobaan pikir saya seketika itu -- tapi hadir pula penyelamat yang dikirim Tuhan. Bus yang melaju cepat dan membikin lampau kota Eindhoven. Ada ribuan jarak yang direlakan antara pergi dan pulang. Saya tiba dengan sabda perjuangan seorang perantau.

Dari balik jendela lepaslah pandangan ke arah jauh, ke tepian kanal-kanal dengan kapal tongkang pengangkut material merayap membelah rawa-rawa. Suara klakson melengking dan memekik, membuat seisi penumpang kaget.

Tepat di depan, kemacetan panjang terjadi. Mobil terbakar hangus setelah menabrak pembatas jalan. Sekali lagi saya terjebak dan memperlambat perjalanan saya menuju kota tujuan.

Deretan mobil begitu panjang. Sirine mobil pemadam kebakaran meraung-raung di lintasan jalan raya yang kiri dan kanannya terdapat hamparan luas tanah kosong. Saya melihat saksama, melihat api berkobar beserta asap berwarna hitam pekat membumbung tinggi.

Hampir satu jam terjebak. Dan matahari meninggalkan peraduannya, gelap mulai menjalar. Lampu-lampu penerang jalan menyala. Dari kejauhan terlihat samar-samar siluet kincir angin yang berdiri di tanah lapang. Sejurus kemudian bus kembali melaju.

***

Hari sudah gelap ketika Flixbus yang saya tumpangi tiba di kota Amsterdam.

Kota asing yang membuat saya lebih jauh berjarak. Tetapi juga membawa saya ke masa lampau, ke sejarah tanah jajahan.
Belanda, tempat yang pada mulanya hanya saya ketahui dari buku-buku pelajaran sejarah siswa sekolah. Tempat di mana nama orangnya tersanding kata "Van" yang membuat kesal setiap siswa menghapalnya.

Salah satu kanal di kota Amsterdam ketika malam hari. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin 
Salah satu kanal di kota Amsterdam ketika malam hari. Foto: Pribadi/Mohamad Tamrin 

Ketika saya tiba. Entah, pikiran saya menuju ratusan tahun silam. Membayangkan Jendral Van Ham mendarat di Ampenan dan menyerbu habis tanah Mataram, membuat para raja-raja diasingkan ke Batavia. Ratusan manuskrip disita dan dihilangkan dari peradaban. Semua itu dilakukan oleh Belanda, negeri yang sedang saya singgahi saat ini.

Kota ini memiliki pertalian sejarah panjang dengan tanah jajahan. Sekaligus pelabuhan Ampenan, pintu pendaratan ekspedisi penyerbuan ke Mataram. Dari sini saya membayangkannya sekali lagi, para warga ketakutan karena bedil, pun deru mesin kapal perang yang segera berlabuh.
Asmterdam, Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun