Membincang Wayang dari sudut berbeda
Oleh M. Rudi
Mahabharata dan Ramayana adalah karya sastra klasik India yang cukup banyak memberi pengaruh dan warna pada budaya Indonesia. Mulai dari seni rupa (ukiran, patung, lukisan), seni tari, seni pertunjukan (Wayang orang, wayang kulit, wayang golek), bahkan mungkin sastra Indonesia itu sendiri.Â
Karya Krishna Dwipayana Byasa ini sudah disalin dalam banyak bahasa, di nusantara konon Mahabharata sudah di salin dalam bahasa Jawa kuno sejak akhir abad 10 masehi, masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Anantawikrama di Jawa timur.Â
Selain pertunjukan wayang, epos Mahabharata semakin dikenal luas masyarakat dalam bentuk komik, yang paling terkenal adalah karya R.A. Kosasih, Oerip, dan lain-lain, yang kemudian disusul kemunculannya di televisi sebagai sinema bersambung awal 1990 an.
Di Indonesia, wiracarita Mahabharata bahkan mengalami perkembangan. Hal ini bisa kita lihat dengan hadirnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, yang tak ada dalam cerita aslinya.Â
Tokoh punakawan semula muncul sebagai tokoh penyegar suasana dari keseriusan alur cerita, tetapi lambat laun para punakawan bisa muncul dalam lakon atau cerita yang berdiri sendiri. Lakon itu antara lain 'Petruk jadi Raja', 'Cepot rarabi' (pernikahan Cepot / Bagong).Â
Mengapa disebut pengembangan, ini karena dalam tiap lakonnya, punakawan tetap dikaitkan dengan para tokoh Mahabharata, terutama Pandawa. Para punakawan digambarkan sebagai pembantu dekat Pandawa dari kalangan masyarakat biasa, mereka tak memiliki jabatan berarti dalam struktur pemerintahan dunia pewayangan, kecuali Semar yang digambarkan sebagai Lurah di desa Tumaritis. Tokoh punakawan ini juga pernah populer digubah dalam versi modern dalam komik-komik karya Tatang S.
Dalam pertunjukan wayang yang kerap menampilkan Epos Mahabharata dan Ramayana, yang sejatinya memuat filsafat dan ajaran Hindu, ditangan para Dalang pertunjukan wayang juga digunakan sebagai media syiar Islam.Â
Penggunaan wayang sebagai media dakwah konon sudah terjadi sejak jaman Walisanga, ini kemudian diteruskan para Dalang hingga saat ini. Asep Sunandar Sunarya, maestro wayang golek di Jawa barat adalah salah satu Dalang yang memanfaatkan wayang sebagai media dakwah. Tokoh yang digunakan tak cuma punakawan, tapi figur buta / raksasa juga bisa dijadikan sebagai penyampai kebaikan.Â