Mohon tunggu...
Moh Rudi
Moh Rudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Pedagang buku yang senang menulis dan jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membincang Wayang dari Sudut Berbeda

19 Januari 2021   09:15 Diperbarui: 19 Januari 2021   11:50 1011
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Membincang Wayang dari sudut berbeda


Oleh M. Rudi

Mahabharata dan Ramayana adalah karya sastra klasik India yang cukup banyak memberi pengaruh dan warna pada budaya Indonesia. Mulai dari seni rupa (ukiran, patung, lukisan), seni tari, seni pertunjukan (Wayang orang, wayang kulit, wayang golek), bahkan mungkin sastra Indonesia itu sendiri. 

Karya Krishna Dwipayana Byasa ini sudah disalin dalam banyak bahasa, di nusantara konon Mahabharata sudah di salin dalam bahasa Jawa kuno sejak akhir abad 10 masehi, masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh Anantawikrama di Jawa timur. 

Selain pertunjukan wayang, epos Mahabharata semakin dikenal luas masyarakat dalam bentuk komik, yang paling terkenal adalah karya R.A. Kosasih, Oerip, dan lain-lain, yang kemudian disusul kemunculannya di televisi sebagai sinema bersambung awal 1990 an.

Di Indonesia, wiracarita Mahabharata bahkan mengalami perkembangan. Hal ini bisa kita lihat dengan hadirnya tokoh-tokoh punakawan seperti Semar, Petruk, Gareng dan Bagong, yang tak ada dalam cerita aslinya. 

Tokoh punakawan semula muncul sebagai tokoh penyegar suasana dari keseriusan alur cerita, tetapi lambat laun para punakawan bisa muncul dalam lakon atau cerita yang berdiri sendiri. Lakon itu antara lain 'Petruk jadi Raja', 'Cepot rarabi' (pernikahan Cepot / Bagong). 

Mengapa disebut pengembangan, ini karena dalam tiap lakonnya, punakawan tetap dikaitkan dengan para tokoh Mahabharata, terutama Pandawa. Para punakawan digambarkan sebagai pembantu dekat Pandawa dari kalangan masyarakat biasa, mereka tak memiliki jabatan berarti dalam struktur pemerintahan dunia pewayangan, kecuali Semar yang digambarkan sebagai Lurah di desa Tumaritis. Tokoh punakawan ini juga pernah populer digubah dalam versi modern dalam komik-komik karya Tatang S.

Dalam pertunjukan wayang yang kerap menampilkan Epos Mahabharata dan Ramayana, yang sejatinya memuat filsafat dan ajaran Hindu, ditangan para Dalang pertunjukan wayang juga digunakan sebagai media syiar Islam. 

Penggunaan wayang sebagai media dakwah konon sudah terjadi sejak jaman Walisanga, ini kemudian diteruskan para Dalang hingga saat ini. Asep Sunandar Sunarya, maestro wayang golek di Jawa barat adalah salah satu Dalang yang memanfaatkan wayang sebagai media dakwah. Tokoh yang digunakan tak cuma punakawan, tapi figur buta / raksasa juga bisa dijadikan sebagai penyampai kebaikan. 

Di tangan Asep Sunandar Sunarya dan group wayang Giri Harja III, pertunjukan wayang golek tak cuma dimanfaatkan sebagai media dakwah tadi namun juga menjadi jauh lebih atraktif. Selepas beliau wafat, kesenian wayang golek dilanjutkan beberapa putranya yang juga menjadi Dalang. Menariknya, dari sudut kepercayaan lain, tokoh Semar bahkan juga terdapat di beberapa Klenteng di Semarang, Sukabumi dan Malang.

Semasa kecil, saya masih kerap menikmati pertunjukan wayang yang digelar orang hajatan. Dulu saya bisa begadang berkemul sarung menonton wayang sampai sekitar pukul tiga pagi. Saat ini sepertinya sudah jarang sekali. Orang lebih suka menanggap dangdut, atau jika ingin lebih ekonomis menanggap organ tunggal. Wayang sebagai salah satu seni pertunjukan memang agak berbeda dengan seni pertunjukan lainnya. Pertunjukan wayang membutuhkan biaya cukup besar karena memang melibatkan banyak orang. Selain Dalang di sana ada Sinden yang biasanya berjumlah lebih dua orang. 

Dalam wayang golek, bahkan ada juga tambahan sinden laki-laki yang biasa di sebut 'Alok', ini belum ditambah para pemain gamelan dan sebagainya. Jika masalahnya adalah biaya yang besar, saya pikir orang dulu ternyata lebih menghargai seni ketimbang orang jaman sekarang. Ya, dulu yang menanggap wayang bukan cuma orang besar berpangkat tapi juga di kalangan masyarakat biasa.

Wayang adalah salah satu seni pertunjukan khas Indonesia yang berjuang dalam gempuran jaman. Budaya adalah identitas sebuah bangsa. Indonesia sangat kaya dengan ragam budaya, seni dan tradisinya. Kita tak boleh abai dan hanya bisa menyalahkan pemerintah. Sebagai anak bangsa kita  turut bertanggung jawab melestarikannya. 

Saya berkali-kali menyaksikan betapa antusias orang-orang asing mempelajari budaya kita, termasuk wayang. Saya ingat, pernah memberikan sejumlah buku wayang untuk orang Amerika yang tertarik dengan wayang gepuk. Saya juga beberapa kali menyaksikan di YouTube orang asing yang fasih nyinden dan bermain gamelan. Dunia mengagumi budaya kita, tapi dilain sisi kita malah kerap ingin meniru budaya bangsa lain.

Tanggerang
19/1/2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun