Mohon tunggu...
moh. romadlon
moh. romadlon Mohon Tunggu... Penulis - Penulis lepas dan penyuka buku

Penulis lepas

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Strategis Guru bagi Peningkatan Baca Siswa

13 Oktober 2017   15:15 Diperbarui: 13 Oktober 2017   15:46 1974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Budaya baca masyarakat Indonesia begitu rendah. Berdasarkan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia satu kursi lebih tinggi dari Bostwana (60) dan satu kursi lebih rendah dari Thailand (59). Padahal, secara infrastuktur Indonesia cukup baik, berada di peringkat 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru, dan Korea Selatan. Hal ini menandakan bahwa bangsa ini belum bisa memanfaatkan dengan baik infrastuktur yang ada.

Irfan Amalee dalam buku Islam itu Ramah Bukan Marah menyitir suatu data bahwa dalam hal membaca sastra, Negara seperti Singapura dan Malaysia, setiap siswa minimal membaca 5 buku per tahun. Negara Eropa, bias puluhan buku per siswa per tahun. Indonesia? NOL buku per siswa per tahun. Dengan geram Taufiq Ismail bilang orang Indonesia itu tuna baca, pincang nulis. Disuruh baca enggan, diminta nulis enggak terampil.

Seharusnya, sebagai negara dengan pemeluk Islam mayoritas, Indonesia mampu tampil menjadi contoh terbaik bagi negara-negara lain dalam hal membaca dan menulis. Sebab, hanya di Al-Qur'an yang memuat perintah membaca, bahkan merupakan ayat yang pertama turun.

Menyiapkan generasi muda gemar membaca tentu bukan pekerjaan satu dua hari, namun merupakan kerja bersama semua pihak yang memerlukan proses panjang yang harus dilakukan sejak dini, yakni paling tidak sejak anak masuk Sekolah Dasar. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mencetak anak didik yang gemar membaca?

Peran Strategis Guru

Semua orang mengeluhkan rendahnya minat baca para siswa. Semua pakar berlomba untuk mencarikan solusinya. Pemerintah tak putus asa mengeluarkan jurus-jurus jenius untuk mengatasi masalah ini, salah satunya melalui program Gerakan Literasi Sekolah(GLS). Sebuah gerakan yang mewajibkan guru untuk membimbing anak membaca 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Namun kita tidak boleh lupa bahwa, rendahnya minta baca anak tak lepas dari rendahnya minat baca guru.

Bagaimana guru mampu melaksanakan program GLS, bagaimana guru mau mencoba rumus-rumus para pakar literasi, sementara dirinya saja merasa "haram" melihat buku dan mengaggap membaca adalah aktifitas terbosan dan paling menyiksa di dunia ini.Misalnya: Karena tidak cinta membaca, menyikapi GLS, guru merasa cukup memerintahkan murid untuk membaca 15 menit sebelum masuk. Membaca apa saja, misalnya buku pelajaran. Sementara guru cukup hanya menunggu di kantor atau di kelas sambil sibuk sendiri dengan, misalnya, handphonnya.

Jadi, hal pertama untuk meningkatkan minta baca anak didik adalah meningkatkan minat baca guru. Seorang guru harus mampu tampil menjadi role mode bagi anak didiknya dalam membaca. Kalau minat baca seorangguru sudah tinggi maka secara otomatis ia akan merasa perihatin melihat rendahnya minat baca anak didiknya. Dari keprihatinan inilah guru selanjutnya akan memikirkan atau pun mencari solusi bagaimana mengatasi masalah tersebut.

Kegiatan membaca yang dimaksud di sini tentu bukan hanya mengeja huruf saja. Lebih dari itu adalah menyerap isi dan makna dari bahan bacaan yang dibaca. Bukan asal membaca. Sehingga, menurut FajarRachmawati (2008:1), membaca tidak hanya melibatkan mata. Namun lebih pada pemahaman bacaan.Yang lebih dibutuhkan dalam aktifitas membaca adalah kosentrasi pikiran.

Selanjutnya, ada lima hal yang bias dilakukan oleh seorang guru yang cinta baca dalam usahanya menularkan kecintaanya itu pada anak didik. Di antaranya:

Guru bisa menjelaskan manfaat membaca, bukan menjelaskan dengan kata-kata tetapi dengan bukti. Misalnya guru bisa memamerkan keahlian membuat kerajinan origami di depan murid-muridnya dan menekankan pada mereka bahwa kemampuan itu didapat setelah ia membaca buku tentang origami. Saat menjelaskania memperlihatkan buku tersebut. Dengan demikian murid akan tergerak untuk mengikutinya. Ketika murid sudah tergerak guru harus menangkap momen itu dengan tepat. Guru bisa meminta para siswa segera ke perpustakaan sekolah (dan akan lebih baik bila guru sudah menyediakan buku di kelas yang bisa dipilih) untuk mencari buku-buku keterampilan anak. Guru lalu menugaskan secara kelompok untuk mempraktikkan pembuatan keterampiran sebagai tugas kelompok di rumah berdasarkan buku yang telah mereka baca.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun