Mohon tunggu...
Moh. Ilyas
Moh. Ilyas Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ritual Maaf: Menghapus Noda Kemanusiaan

26 Juli 2017   09:24 Diperbarui: 26 Juli 2017   09:32 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

MEMINTA maaf dan memberi maaf merupakan tradisi yang baik. Ia mengisyaratkan bahwa manusia sebagaimana posisi dasarnya sebagai "mahal al-khatha' wa an-nisyaan", pribadi yang tak lepas dari salah dan lupa.

Maka, jika sejak beberapa hari terakhir di bulan Sya'ban, kalimat-kalimat permintaan maaf berseliweran melalui media sosial atau lainnya, itu merupakan kebaikan yang patut dilestarikan. Meskipun minta maaf sejatinya tak ada kaitan dengan waktu, karena kesalahan kita juga bukan perkara musiman, tetapi bersifat kontinyu: selama kita masih bergaul dengan manusia, selama itu pula kesalahan akan sulit terhindarkan.

Permintaan maaf juga tidak bersifat temporal alias ritual tahunan belaka. Bahasa kasarnya, jangan menunggu bulan Ramadhan atau lebaran untuk bermaaf-maafan. Meski begitu, kapanpun dan di manapun, permintaan maaf selalu positif. Sebab, ia hadir sebagai wujud kesadaran kemanusiaan bahwa manusia tidak bisa melepaskan diri dari sifat dasarnya ini. Dan, dengan cara itu noda-noda kemanusiaan juga akan terhapuskan.

Oleh karenanya problem kemanusiaan, selama manusia itu masih ada, selama itu pula ia akan selalu terjadi. Bukankah sejak masa Nabi Adam 'alaihissalam dan kedua putranya Qabil dan Habil sudah ada perseteruan yang berujung pada pembunuhan? Kesalahan Qabil saat itu, ia memiliki sifat iri karena karena hendak dinikahkan Layudha yang kurang ayu. Sementara saudaranya Habil hendak dinikahkan dengan Iqlimiya, yang berparas ayu. Atas dasar itu, ia melakukan protes kepada Nabi Adam. Dan, berdasarkan wahyu dari Allah, Nabi Adam 'alaihissalam memerintahkan keduanya untuk berkurban, siapa yang diterima kurbanya maka dialah yang berhak atas keutamaan (menikahi saudara kembar Qabil, yakni Iqlimiya). 

Singkat cerita, Qabil yang seorang petani, hanya berkurban dengan seikat gandum yang kualitasnya jelek. Dia tidak peduli apakah kurbannya diterima atau tidak, karena rasa sombong dan dengki sudah menguasainya. Sedangkan Habil yang seorang peternak kambing, memilih kambing yang muda lagi gemuk untuk berkurban. Dia berkeinginan agar kurbannya diterima di sisi Allah Ta'ala. Setelah kurban keduanya dipersembahkan, Allah Ta'ala menurunkan api berwarna putih dan dengan izin Allah api itu membawa kurban Habil (sebagai tanda bahwa kurbannya diterima) dan meninggalkan kurban Qabil. Melihat kenyataan bahwa kurbannya tidak diterima, Qabil marah dan mengancam membunuh Habil. Walau bagaimanapun, Qabil tak ingin Habil menikahi saudara perempuannya. (Lihat QS. Al-Maidah: 27). Ancaman ini ternyata betul-betul dilakukan oleh Qabil. Ia tega membunuh saudaranya sendiri, Habil. Kisah ini pun menjadi kisah pembunuhan pertama di muka bumi. Janazah Habil juga menjadi janazah pertama di muka bumi.

Dari kisah ini bisa diambil ibrah bahwa sifat salah bagi manusia sudah ada sejak zaman manusia pertama. Salah itu menjadi sifat dasar yang selalu "siap" menemani perjalanan hidup manusia. Namun begitu, manusia harus selalu berusaha menekan atau keluar dari kenyataan tersebut. Qabil gagal menekan sifat iri dan sombongnya sehingga bisa melakukan pembunuhan.

***

Manusia tidak boleh bersandar pada kebiasaan salah dan buruk yang mengelilinginya dan menganggapnya sebagai sesuatu yang niscaya terjadi. Bagaimana pun salah dan khilaf, serta hal-hal yang negatif lainnya tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang lazim dan given sehingga ia mesti diterima, tanpa proses seleksi dan evaluasi.

Membangun anggapan bahwa ia mesti terjadi pada manusia tanpa adanya proses ikhtiar untuk memperbaiki sama halnya dengan sikap enggan untuk bangkit di saat kita tengah terpuruk. Kita seperti tengah meratapi nasib dan takdir dan kemudian tak ada proses untuk memperbaiki keadaan itu. Seperti ikhlas menerima dan ingin larut dan berlama-lama dalam kenyataan itu. Tentu hal ini tidak dibenarkan dalam tradisi agama kita. Sebab pada dasarnya, problem yang dihadapi manusia merupakan buah dari kesalahan kemanusiaan itu sendiri, dan oleh karenanya, menerima kenyataan itu adalah keharusan sebagai bentuk sikap qanaah. Tetapi kemudian kita diharuskan mencari jalan keluar yang terbaik. Tuhan memberi solusi terbaik itu melalui pintu taqwa.

Lalu bagaimana cara kita melepaskan diri dari tradisi berbuat salah dan dosa? Seorang penulis asal Amerika Serikat Stephen R Covey mencoba memecahkannya melalui ungkapan populer "Taburlah gagasan, petiklah perbuatan, taburlah perbuatan, petiklah kebiasaan, taburlah kebiasaan, petiklah karakter, taburlah karakter, petiklah nasib."

Dengan begitu, kesalahan bisa kita perbaiki melalui niat, kemudian pelaksanaan dari niat itu, dan selanjutnya adalah pembiasaan, sehingga kemudian menjadi karakter dan menentukan nasib kita. Dalam konteks ini menjadi orang baik bukan berarti kita menjadi orang yang tidak pernah salah, tetapi kita mampu segera bangkit dari dan menghindari kesalahan itu terjadi kembali. Permintaan maaf adalah bagian dari upaya untuk bangkit dalam menghilangkan dan menghapus noda dan salah, karena dengan permintaan maaf kesalahan-kesalahan yang kita lakukan bisa mencair. Ibarat sebuah ujian, selama kita masih melakukan kesalahan-kesalahan, kita tidak akan pernah lulus dari ujian itu. Maka, di situlah perlunya pembelajaran untuk memperbaiki diri, sehingga pada ujian selanjutnya, kita akan bisa melewati ujian itu dengan sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun