Keamanan Vaksin M72
Vaksin M72 telah melalui uji klinik fase 1 dan 2 dan sekarang memasuki uji klinik fase 3. CDC menjelaskan bahwa uji klinik tahap 3 merupakan uji klinik terakhir yang dilakukan sebelum suatu obat atau vaksin dapat mendapatkan izin dari FDA (Food and Drug Administration) untuk digunakan secara luas pada populasi umum. Dalam fase ini, pengujian vaksin melibatkan sekitar 1000-3000 orang untuk mengetahui seberapa baik vaksin bekerja, bagaimana efikasi dari vaksin tersebut, memantau efek samping yang dapat terjadi, serta mengumpulkan informasi-informasi penting untuk mendukung penggunaan yang aman pada masyarakat umum(CDC. How Vaccines are Developed and Approved for Use).
Di Indonesia sendiri, BPOM (Badan Pengawasan Obat dan Makanan) menerangkan melalui Peraturan BPOM No. 8 Tahun 2024 tentang Tata Laksana Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik, bahwa Uji Klinik terdiri atas 4 fase. Uji klinik fase 3 bertujuan untuk menentukan keamanan dan efikasi jangka pendek serta jangka panjang zat aktif, dan mengetahui efek terapetik secara umum maupun relatif. Tahap uji klinik ini melibatkan lebih banyak partisipan dari tahap 2.
Memahami hal tersebut, maka perlu kita pahami bagaimana hasil dari uji klinik tahap 2 vaksin M72 ini. Artikel dalam Biomedical Journal (BMJ) menjelaskan, berbeda dengan vaksin BCG yang kandungannya menggunakan bakteri Mycobacterium bovis yang dilemahkan, vaksin M72 mengandung protein fusi rekombinan (M72) yang berasal dari antigen Mtb, bersama dengan sistem adjuvan (AS01E) untuk meningkatkan respons imun (Mahase E. Tuberculosis: How close are we to a new vaccine? BMJ 2024)
Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine pada tahun 2018, diperoleh konklusi bahwa “Efikasi vaksin M72/AS01E memberikan perlindungan 54,0% untuk orang dewasa yang terinfeksi M. tuberculosis terhadap penyakit tuberkulosis paru aktif, tanpa masalah keamanan yang nyata”. Penelitian ini merupakan uji coba klinik fase 2 terkontrol yang melibatkan populasi penelitian di negara Kenya, Afrika Selatan, dan Zambia (Van Der Meeren, Olivier, et al. “Phase 2b Controlled Trial of M72/AS01E Vaccine to Prevent Tuberculosis.” New England Journal of Medicine)
Sebuah meta-analisis dan systematic review yang dilakukan pada tahun 2020 menemukan kesimpulan bahwa “Vaksin M72/AS01E dan MVA85A untuk TB aman dan telah menunjukkan imunogenisitas dalam berbagai uji klinik. Vaksin M72/AS01E dan MVA85A dikaitkan dengan efek samping ringan.” Temuan studi meta-analisis ini menunjukkan bahwa M72/AS01E dan MVA85A memiliki imunogenisitas dan secara umum ditemukan aman pada populasi yang divaksinasi BCG dan yang tidak divaksinasi, dan pada HIV-positif dan negatif, dan bahkan di antara populasi yang sebelumnya terinfeksi M. tuberculosis (Ullah, Inayat, et al. “The Systematic Review and Meta-Analysis on the Immunogenicity and Safety of the Tuberculosis Subunit Vaccines M72/AS01E and MVA85A.” Frontiers in Immunology)
Beberapa hasil penemuan ini sebenarnya menunjukkan dari hasil uji klinik fase 2, vaksin M72 relatif aman dan memiliki efek samping ringan sehingga wajar untuk dilanjutkan penelitiannya ke uji klinik fase 3.
Harkat Uji Klinik, Peluang Untuk Indonesia
Indonesia ditetapkan sebagai salah satu dari beberapa negara sebagai tempat uji klinik fase 3 vaksin M72 ini harus dilihat dalam sudut pandang yang lebih optimis. Melihat hasil uji klinik fase 2 yang relatif aman, tidak ada salahnya untuk merasa bahwa uji klinik fase 3 pun akan membawa hasil yang sama. Apalagi jika uji klinik fase 3 ini terbukti efikasinya tinggi di Indonesia, Indonesia bisa langsung mendapat izin dan akses teknologi vaksin tersebut untuk segera digunakan secara luas di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dapat segera menerapkan serangkaian regulasi agar vaksin ini dapat segera dimanfaatkan secara efektif sehingga dapat dievaluasi hasilnya yang (semoga) dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat TB di Indonesia.
Untuk dapat memanfaatkan peluang itu semaksimal mungkin, serta memastikan vaksin ini betul-betul aman secara risiko dan efek samping, maka tetap perlu diperhatikan pedoman Cara Uji Klinik yang Baik (CUKB). Pasal 5 ayat (1) Peraturan BPOM no. 8 tahun 2024 menegaskan bahwa Uji Klinik harus berpedoman pada CUKB. Dalam lampiran 1 Peraturan yang sama dijelaskan, CUKB adalah suatu standar kualitas etik dan ilmiah internasional untuk mendesain, melaksanakan, mencatat, dan melaporkan Uji Klinik yang melibatkan partisipasi subjek manusia. Mematuhi standar ini akan memberi kepastian kepada publik bahwa hak, keamanan, dan kesejahteraan Subjek Uji Klinik dilindungi sesuai dengan prinsip yang berasal dari Deklarasi Helsinki, serta bahwa data Uji Klinik tersebut dapat dipercaya. Selain itu, lebih jauh lagi dalam pasal 6 ditegaskan bahwa Uji Klinik yang dilaksanakan di Indonesia wajib memperoleh PPUK (Persetujuan Pelaksanaan Uji Klinik) dari BPOM dimana PPUK ini diberikan setelah memperoleh persetujuan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) sebelum uji klinik tersebut dapat dilakukan.